IMG-LOGO
Home Iptek Kalau Semua Harus Bayar Royalti, MK Sebut WR Supratman Pasti Paling Tajir
iptek | umum

Kalau Semua Harus Bayar Royalti, MK Sebut WR Supratman Pasti Paling Tajir

oleh VNS - 07 Agustus 2025 14:05 WITA
IMG
Ilustrasi WR Supratman. foto:detik

IDENESIA.CO - Sidang uji materi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta di Mahkamah Konstitusi (MK) memunculkan momen tak biasa. Di tengah perdebatan serius soal royalti, Hakim Konstitusi Arief Hidayat melontarkan sindiran tajam yang memicu senyum sekaligus refleksi mendalam.

“Kalau kita mengikuti pasal ini secara leterlijk (harfiah), orang yang paling kaya di Indonesia adalah WR Supratman. Apalagi menjelang 17 Agustus, semuanya di Indonesia nyanyi Indonesia Raya,” ujar Arief dalam sidang yang digelar Kamis (31/7/2025), dikutip dari Antaranews.

Pernyataan itu disampaikan saat MK memeriksa gugatan uji materi yang diajukan oleh sejumlah musisi kenamaan Indonesia di antaranya Raisa, Ariel NOAH, Armand Maulana, Nadin Amizah, dan Bernadya. Para pemohon mempersoalkan pasal-pasal dalam UU Hak Cipta yang dianggap membingungkan, tidak adil, dan membuka celah kriminalisasi bagi pemilik atau pengguna karya.

Sindiran yang Sarat Makna

Sindiran Arief bukan sekadar lelucon. Ia ingin menyoroti kecenderungan tafsir hukum yang terlalu sempit dan ekstrem terhadap aturan royalti. Jika setiap pemutaran lagu wajib membayar royalti tanpa konteks, maka lagu nasional pun bisa dikenai tarif, termasuk lagu wajib seperti "Indonesia Raya".

“Bayangkan lagu Indonesia Raya, sudah berapa tahun dinyanyikan oleh seluruh rakyat Indonesia dari PAUD sampai lembaga negara. Kalau ditafsir seperti sekarang, ahli warisnya itu paling kaya sedunia,” katanya, menekankan absurditas dari pendekatan hukum yang semata-mata berorientasi ekonomi.

Nilai Budaya vs Kepentingan Ekonomi

Arief Hidayat kemudian menggali lebih dalam akar budaya penciptaan karya seni di Indonesia. Ia mengingatkan bahwa seni tradisional kita dulu lahir bukan untuk mencari keuntungan pribadi, melainkan sebagai persembahan bagi masyarakat.

“Ciptaan-ciptaan yang dulu, apakah tari, lagu, atau seni lainnya, banyak yang anonim. Karena mereka tidak mengklaim itu ciptaan pribadi. Mereka membuatnya untuk masyarakat. Jadi pahalanya banyak, surga paling tinggi, tapi secara ekonomi tidak kaya,” ucapnya.

Pandangan ini menyentil semangat zaman sekarang yang, menurutnya, makin kapitalistik. Ia mengingatkan bahwa regulasi seperti UU Hak Cipta harus hati-hati agar tidak mendorong pergeseran nilai dari gotong royong ke individualisme ekstrem.

Gugatan Para Musisi: Minta Kepastian Hukum

Di balik nuansa satire itu, gugatan para musisi tetap serius. Mereka mempersoalkan sejumlah pasal, antara lain:

  • Pasal 9 ayat (3): Melarang penggunaan komersial tanpa izin pencipta.

  • Pasal 23 ayat (5): Penggunaan wajib bayar imbalan lewat LMK meski tanpa izin langsung pencipta.

  • Pasal 81 dan 87 ayat (1): Mengatur kewajiban anggota LMK sebagai syarat menarik royalti.

  • Pasal 113 ayat (2): Menyertakan sanksi pidana maksimal 3 tahun dan denda Rp500 juta.

Musisi menilai pasal-pasal tersebut justru menciptakan ketidakpastian hukum, membatasi hak pengelolaan karya oleh pencipta sendiri, dan menimbulkan potensi penyalahgunaan oleh pihak ketiga.

(Redaksi)