IDENESIA.CO - Perwakilan tenaga honorer asal Kalimantan Timur bersama Aliansi Honorer Non Database BKN & Gagal CPNS se-Indonesia kembali menyuarakan tuntutan mereka kepada pemerintah pusat. Aksi ini digelar menyusul amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), terutama Pasal 66, yang menegaskan penataan tenaga non-ASN harus tuntas paling lambat Desember 2024.
Perwakilan honorer Kaltim, Muhammad Rizqi Pratama, menekankan pentingnya kepastian hukum terkait status tenaga honorer di seluruh Indonesia. Ia menilai pemerintah tidak cukup hanya menerbitkan surat edaran, melainkan harus melahirkan regulasi teknis yang jelas.
“Kami mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan regulasi teknis berupa Peraturan Pemerintah atau PermenPAN-RB, bukan sekadar surat edaran. Hal ini agar status tenaga honorer memiliki kepastian hukum sebelum Desember 2025,” tegas Rizqi saat aksi berlangsung.
Selain regulasi, Rizqi juga menyoroti perlunya skema PPPK Paruh Waktu. Menurutnya, skema ini bisa menjadi jalan tengah bagi tenaga honorer yang gagal tes CPNS atau tidak masuk database.
“ASN terdiri dari PNS dan PPPK sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UU ASN. Skema PPPK Paruh Waktu harus diakomodasi tanpa diskriminasi agar honorer tetap memiliki peluang pengangkatan,” jelasnya.
Aliansi ini membawa lima tuntutan utama kepada pemerintah:
Segera menerbitkan regulasi teknis penataan honorer berupa PP atau PermenPAN-RB, bukan hanya surat edaran.
Mengakomodasi skema PPPK Paruh Waktu sebagai alternatif tanpa diskriminasi.
Mengangkat honorer non database dan TMS (Tidak Memenuhi Syarat) yang sudah mengabdi minimal dua tahun hingga Desember 2025.
Menjamin penataan yang adil sesuai Pasal 66 ayat (1) UU ASN, agar semua tenaga honorer, baik lolos seleksi maupun TMS, mendapat penyelesaian status.
Memberikan jaminan hak dan kesejahteraan selama masa transisi, termasuk upah layak sesuai UMP/UMK serta jaminan sosial tenaga kerja.
Rizqi menutup pernyataannya dengan menekankan bahwa honorer bukanlah beban negara, melainkan bagian penting dari roda birokrasi dan pelayanan publik.
“Tenaga honorer adalah aset bangsa, bukan beban. Negara tidak boleh menutup mata terhadap pengabdian kami yang nyata-nyata menggerakkan pelayanan publik,” pungkasnya.
Dengan desakan ini, para honorer berharap Menteri PAN-RB segera merespons dengan menerbitkan regulasi yang tegas, adil, dan menyeluruh. Mereka menilai penataan tenaga honorer harus dilakukan tanpa diskriminasi agar hak-hak mereka yang sudah lama mengabdi tetap terlindungi.
(Redaksi)