IMG-LOGO
Home Iptek Pemilik Kafe Yogyakarta Hentikan Pemutaran Musik Akibat Royalti Rp 120 Ribu per Kursi
iptek | umum

Pemilik Kafe Yogyakarta Hentikan Pemutaran Musik Akibat Royalti Rp 120 Ribu per Kursi

oleh VNS - 05 Agustus 2025 05:04 WITA
IMG
Ilustrasi Royalti (Foto:Ist)

IDENESIA.CO - Sejumlah pemilik kafe di Yogyakarta memilih untuk tidak lagi memutar musik di tempat usaha mereka. Langkah ini diambil demi menghindari potensi pelanggaran hukum terkait kewajiban pembayaran royalti musik yang kini kembali menjadi sorotan.


Salah satu pemilik yang mengambil keputusan ini adalah Rifkyanto Putro, pemilik Wheelsaid Coffee. Rifky, sapaan akrabnya, menyatakan bahwa dirinya pada dasarnya mendukung perlindungan hak cipta dan pembayaran royalti kepada musisi, namun merasa kebijakan ini masih menyisakan banyak tanda tanya.

“Rp 120 ribu dikalikan 25 kursi, itu baru satu hak cipta atau bagaimana? Itu yang belum jelas,” ujarnya, Senin (4/8/2025).

Rifky mengaku sudah mengetahui tentang kewajiban ini sejak 2016, namun hingga saat ini, ia belum mendapat penjelasan yang rinci mengenai mekanisme perhitungan tarif royalti apakah dihitung per band, per lagu, atau berdasarkan jumlah lagu tertentu yang diputar di tempat usaha.

Kekhawatiran Rifky semakin besar karena selama ini ia memutar musik melalui Spotify dan YouTube Music, yang sejatinya hanya diperuntukkan untuk konsumsi pribadi, bukan untuk penggunaan komersial.

“Khawatir juga sebenarnya, kalau banyak sosialisasi kan lama-lama tahu dan notice harus bayar sekian,” tuturnya.

Sebagai langkah preventif, ia kini mempertimbangkan untuk tidak memutar musik sama sekali, setidaknya hingga ada kejelasan regulasi. Menurut Rifky, keputusan ini tidak memengaruhi operasional kafe miliknya, karena sejak awal Wheelsaid Coffee memang tidak menjadikan musik sebagai bagian dari suasana utama.

“Dari awal konsep coffee shop enggak ada lagu, jadi flow pembeli cepat,” tambahnya.

Isu royalti kembali mencuat seiring dengan penegakan Undang-Undang Hak Cipta, yang mewajibkan pelaku usaha seperti restoran, hotel, dan kafe untuk membayar royalti atas penggunaan karya musik yang diputar secara publik.

Menanggapi hal ini, Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, menyatakan bahwa pelaku usaha tidak perlu khawatir.

“Kenapa sih takut bayar royalti? Bayar royalti tidak akan membuat usaha bangkrut,” ujarnya saat ditemui di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, belum lama ini.

Meski demikian, di lapangan, tidak sedikit pelaku usaha yang memilih jalan aman dengan mengganti pemutaran lagu dengan suara alam atau efek kicauan burung, untuk menghindari potensi sanksi atau denda.

Hingga saat ini, pelaku industri kreatif dan pengusaha kafe sama-sama berharap adanya sosialisasi yang lebih masif dan regulasi yang lebih transparan, agar kebijakan ini dapat dijalankan dengan adil dan tanpa membebani pihak manapun.

(Redaksi)