IMG-LOGO
Home Sosok Menguak Kerajaan Gelap Chen Zhi, Dari Properti Mewah ke Jaringan Penipuan Kripto
sosok | umum

Menguak Kerajaan Gelap Chen Zhi, Dari Properti Mewah ke Jaringan Penipuan Kripto

oleh VNS - 28 Oktober 2025 14:05 WITA
IMG
Chen Zhi dituduh sebagai dalang di balik kerajaan penipuan siber di Kamboja. Foto:Ist

IDENESIA.CO - Kamboja diguncang skandal finansial terbesar dalam sejarah modernnya. Seorang pengusaha muda yang selama bertahun-tahun dielu-elukan sebagai simbol kesuksesan ekonomi negeri itu kini menjadi buronan internasional. Ia adalah Chen Zhi, taipan berusia 37 tahun yang dikenal berwajah lembut dan berkarisma tenang tetapi kini diduga sebagai otak di balik jaringan penipuan kripto dan perdagangan manusia lintas negara.

Departemen Kehakiman Amerika Serikat (DoJ) pada pekan lalu resmi mendakwa Chen Zhi atas tuduhan menjalankan kerajaan penipuan kripto dan kejahatan siber berbasis di Kamboja. Dalam keterangan resminya, DoJ menyebut Chen mengoperasikan jaringan perusahaan bayangan di bawah naungan Prince Group, yang disebut dibangun di atas penderitaan manusia.

Departemen Keuangan AS bahkan telah menyita bitcoin senilai USD 14 miliar (sekitar Rp 232 triliun) yang disebut terkait dengan aktivitas jaringan Chen Zhi. Penyitaan ini diklaim sebagai yang terbesar dalam sejarah penegakan hukum terhadap kejahatan mata uang kripto.

Dalam situs resminya, Prince Group menggambarkan Chen Zhi sebagai pengusaha visioner dan filantropis yang telah memajukan ekonomi Kamboja melalui investasi properti dan perbankan. Namun, narasi itu kini berbalik total, Chen dituding membangun kekayaannya dari hasil penipuan daring, pencucian uang, dan eksploitasi manusia di bawah kedok bisnis legal.

Chen Zhi lahir di Provinsi Fujian, China tenggara. Ia memulai kariernya di bisnis gim daring kecil yang gagal berkembang. Sekitar tahun 2010, ia pindah ke Kamboja tepat ketika negara itu mulai dilanda demam investasi properti yang digerakkan oleh modal dari China melalui proyek Belt and Road Initiative (BRI).

Chen cepat membaca peluang. Ia mulai membeli lahan, membangun gedung-gedung tinggi di Phnom Penh dan Sihanoukville, serta menjalin relasi dengan elit politik lokal. Pada 2014, ia menjadi warga negara Kamboja, mengorbankan paspor Tiongkoknya demi bisa membeli tanah atas nama pribadi.

Hanya dalam waktu setahun, ia mendirikan Prince Group (2015), yang bergerak di bidang properti, perbankan, penerbangan, dan pariwisata. Ia juga mendirikan Prince Bank, dan pada 2018 memperoleh lisensi penuh sebagai bank komersial. Tahun yang sama, ia mengantongi paspor Siprus dan Vanuatu, yang memudahkannya mengakses sistem keuangan internasional.

Dengan kekayaan yang terus meningkat, Chen disebut menyumbang jutaan dolar untuk proyek sosial dan pandemi Covid-19, serta mendapatkan gelar kehormatan Neak Oknha dari Raja Kamboja penghargaan tertinggi bagi warga sipil yang berkontribusi minimal US$500.000.

Namun, di balik citra dermawan itu, kerajaan bisnisnya mulai dicurigai menjadi kedok jaringan kejahatan transnasional.

Sihanoukville, kota pantai yang dulu tenang, berubah drastis setelah Chen dan para investor Tiongkok lainnya membangun kasino-kasino mewah. Di balik gemerlap lampu hotel dan resor, muncul praktik perjudian daring dan penipuan digital.

Pada 2019, ketika Pemerintah Kamboja akhirnya melarang perjudian daring atas tekanan Beijing, gelembung bisnis runtuh. Sekitar 450.000 warga Tiongkok meninggalkan kota itu, meninggalkan gedung-gedung kosong dan ribuan pekerja migran yang terjebak.

Namun, Chen Zhi justru terus memperluas imperiumnya. Ia membeli rumah senilai £12 juta di London Utara dan gedung perkantoran £95 juta di distrik finansial London, serta properti di New York. AS menuduh pembelian itu merupakan hasil pencucian uang dari jaringan penipuan digital di Asia Tenggara.

Menurut laporan otoritas Inggris dan AS, keuntungan besar diperoleh dari modus penipuan daring berbasis kripto pekerja migran dari China, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia direkrut dengan janji pekerjaan bergaji tinggi, tetapi kemudian disekap, disiksa, dan dipaksa menjalankan operasi scam internasional di kompleks yang dikelola Prince Group.

Laporan investigasi AS dan Inggris menyebut, jantung operasi penipuan Chen berada di Golden Fortune Science and Technology Park, kompleks mewah di perbatasan Kamboja-Vietnam. Dari luar, kawasan ini tampak seperti pusat bisnis futuristik dengan kantor dan asrama. Namun, investigasi Radio Free Asia dan BBC mengungkap bahwa di balik pagar tinggi dan penjagaan ketat, ribuan orang ditahan secara paksa.

Para korban dipaksa bekerja 15-18 jam sehari untuk menipu korban online di seluruh dunia, menggunakan skema investasi palsu, crypto scam, dan pemerasan seksual digital. Mereka yang mencoba melarikan diri, menurut kesaksian saksi mata, dipukul, disetrum, dan dikurung tanpa makanan.

“Skala operasinya sangat besar tidak ada yang sebanding di Asia Tenggara,” kata jurnalis investigatif Jack Adamovic Davies, yang meneliti kasus Chen selama tiga tahun. 

“Ia membangun kerajaan bisnis global dengan uang hasil penderitaan manusia.”

Pemerintah AS dan Inggris kini telah menjatuhkan sanksi terhadap 128 perusahaan dan 17 individu yang terafiliasi dengan Chen Zhi di tujuh negara. Semua asetnya dibekukan, termasuk properti, rekening bank, dan aset digital di Amerika, Inggris, Korea Selatan, dan Singapura.

Otoritas Bank Sentral Kamboja bahkan mengeluarkan peringatan resmi kepada nasabah Prince Bank untuk menarik dana mereka. Sementara otoritas Korea Selatan membekukan simpanan senilai US$64 juta yang terkait dengan Prince Group.

Di sisi lain, pemerintah Singapura dan Thailand membuka penyelidikan terhadap anak perusahaan dan individu yang disebut dalam daftar sanksi AS-Inggris.

Namun, Pemerintah Kamboja masih berhati-hati berkomentar. Juru bicara pemerintah hanya menyatakan bahwa pihaknya akan menghormati proses hukum internasional dan meminta bukti kuat dari Washington. Tetapi hubungan panjang Chen dengan para elit politik termasuk dengan mantan PM Hun Sen dan putranya, Hun Manet membuat kasus ini berpotensi mengguncang elite kekuasaan Phnom Penh.

Chen Zhi sempat dijuluki Pangeran Phnom Penh. Ia dikenal murah senyum, berpenampilan sederhana, dan jarang muncul di publik. Namun, di balik citra itu, kini terbentang kisah dramatis tentang ambisi, kekuasaan, dan kejahatan digital yang menjerat ribuan korban lintas negara.

Sejak sanksi internasional diumumkan, Chen Zhi menghilang tanpa jejak. Media lokal tidak lagi menyiarkan aktivitas Prince Group. Billboard besar bergambar wajahnya di Phnom Penh kini diturunkan diam-diam.

Namun jejaknya masih terasa dari gedung-gedung kaca yang menjulang di Sihanoukville hingga rekening kripto senilai ratusan triliun rupiah yang kini disita oleh otoritas Amerika.

Kasus Chen Zhi menjadi simbol paradoks Asia modern di satu sisi, kemajuan teknologi dan arus investasi asing di sisi lain, bayangan gelap eksploitasi manusia dan kejahatan digital yang terorganisir.

Dan kini, dunia menunggu apakah sang taipan muda yang dulu dielu-elukan sebagai pahlawan ekonomi Kamboja, akan muncul kembali untuk menghadapi tuduhan paling besar dalam sejarah kriminal digital Asia, atau selamanya menghilang sebagai bayangan dari Kerajaan Penipuan yang ia bangun sendiri.

(Redaksi)