IDENESIA.CO - Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa data pribadi warga negara Indonesia (WNI) yang akan diserahkan ke Amerika Serikat dalam kerangka kerja sama perdagangan, hanya terbatas pada data yang berkaitan dengan kepentingan komersial. Hal ini disampaikan oleh Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (23/7/2025).
Menurut Hasan, kesepakatan transfer data antara Indonesia dan Amerika Serikat tidak mencakup seluruh data pribadi WNI, melainkan hanya data yang dibutuhkan untuk mendukung pertukaran barang dan jasa tertentu. Salah satu contohnya adalah perdagangan produk gliserol sawit, yang memiliki potensi ganda sebagai bahan baku pupuk maupun bahan peledak.
"Data untuk pertukaran barang dan jasa tertentu yang nanti bisa bercabang dua bisa jadi bahan bermanfaat, tapi juga bisa jadi barang yang berbahaya seperti bom. Itu butuh keterbukaan data, siapa pembeli siapa penjual," ujar Hasan.
Ia menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tetap menjadi pihak yang mengelola data pribadi masyarakat, dan proses transfer data ke AS tetap tunduk pada aturan dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
"Jenis data yang diberikan tetap akan disesuaikan dengan UU PDP. Tidak serta-merta semua data diserahkan. Ada mekanisme pengawasan dan proteksi yang ketat," tambah Hasan.
Isu ini mencuat setelah Gedung Putih merilis kerangka kerja sama dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat pada Selasa (22/7/2025). Salah satu poin dalam kesepakatan tersebut menyebutkan bahwa Indonesia harus menyediakan data pribadi warganya ke Amerika Serikat dan data tersebut akan dikelola oleh pihak AS.
Menanggapi hal itu, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menyatakan bahwa pemerintah akan segera membahas lebih lanjut klausul transfer data tersebut. Ia mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
"Kami akan ke Kemenko Perekonomian untuk koordinasi seperti apa penjelasannya. Nanti mungkin akan ada pernyataan dari Menko Perekonomian atau dari kami," kata Meutya di Istana Kepresidenan.
Namun demikian, muncul kekhawatiran dari kalangan pakar keamanan siber. Alfons Tanujaya, pakar keamanan siber dan forensik digital dari Vaksincom, menilai pemerintah perlu lebih transparan dalam menjelaskan rincian isi kesepakatan tersebut.
Menurutnya, transfer data pribadi dalam konteks perjanjian ini bisa berdampak pada ketentuan layanan penyimpanan data, khususnya di sektor perbankan dan digital. Ia menyoroti kemungkinan bahwa penyedia layanan seperti AWS, Google, dan Microsoft tidak lagi diwajibkan membangun pusat data di Indonesia karena dapat menyimpan data langsung di luar negeri.
"Kalau data bisa disimpan atau di-backup di Amerika Serikat, tentu ini menekan biaya operasional karena relatif lebih murah daripada membangun dan mengelola data center di Indonesia," ujar Alfons.
Meski dapat menurunkan biaya layanan data, ia mengingatkan agar aspek keamanan dan kedaulatan digital tidak dikorbankan. Ia mendorong agar pemerintah menjelaskan secara rinci mekanisme kontrol dan perlindungan atas data pribadi WNI dalam kerja sama ini.
(Redaksi)