IMG-LOGO
Home Internasional Gereja-Gereja Gaza Dibom, Populasi Kristen Palestina Terus Menyusut
internasional | umum

Gereja-Gereja Gaza Dibom, Populasi Kristen Palestina Terus Menyusut

oleh VNS - 22 Juli 2025 10:05 WITA
IMG
Patriark Latin dan pemimpin Ortodoks ke Gaza (Foto:Ist)

IDENESIA.CO - Di tengah perang berlarut dan pendudukan yang mengekang, komunitas Kristen Palestina salah satu yang tertua di dunia kian terdesak. Gereja-gereja yang dulu menjadi tempat aman kini berubah jadi sasaran serangan. Pengusiran, pembatasan, dan blokade panjang membuat populasi mereka terus menurun dari tahun ke tahun, menimbulkan kekhawatiran bahwa jejak kekristenan di sebagian wilayah Palestina, terutama Gaza, dapat hilang sama sekali.


Ibrahim Jahsan, seorang ayah muda Kristen Gaza, masih trauma mengenang serangan udara Israel pada 20 Oktober 2023 yang menghantam kompleks Gereja Saint Porphyrius, gereja Ortodoks Yunani tertua di kota Gaza. Saat itu ratusan warga Kristen dan Muslim sedang berlindung. Ledakan menghancurkan salah satu dari empat bangunan di kompleks, menjatuhkan langit-langit dan menjebak puluhan di bawah beton runtuh.

Menurut Patriarkat Ortodoks Yerusalem yang dilaporkan Al Jazeera, sedikitnya 18 orang tewas, termasuk anak-anak. Jahsan, yang berada di sana bersama istrinya yang sedang hamil dan dua anak kecil, mengatakan seluruh anak mengalami trauma berat. Meski demikian ia menolak pergi.

“Kami dibaptis di sini, dan kami akan mati di sini,” ujarnya.

Tragedi berulang. Gereja Keluarga Kudus, satu-satunya gereja Katolik di Jalur Gaza, dibom Kamis pagi (18/7), menewaskan dua orang. Gereja ini selama perang menjadi tempat perlindungan bagi umat Kristen maupun Muslim, termasuk anak-anak penyandang disabilitas.

Serangan tersebut memicu kecaman internasional. Pemerintah Indonesia menyampaikan sikap resmi.

“Indonesia mengutuk serangan terhadap Gereja Keluarga Kudus di Gaza, satu-satunya Gereja Katolik di Gaza, yang menimbulkan korban jiwa rakyat sipil tak bersalah,” demikian rilis Kementerian Luar Negeri RI, Jumat (18/7).

Komunitas Kristen di Palestina bukan pendatang. Mereka telah menghuni wilayah ini sejak awal abad Masehi, ketika kekristenan lahir di Tanah Suci. Karena garis sejarahnya yang tak terputus selama hampir dua milenium, mereka kerap dijuluki batu hidup kekristenan oleh kalangan gereja dan lembaga advokasi Palestina.

Betlehem kini berada di bawah otoritas Palestina dan hanya sekitar 10 km dari Yerusalem dipercaya sebagai tempat kelahiran Yesus Kristus. Kota ini juga memiliki signifikansi Alkitabiah lain seperti kota Raja Daud, latar Kitab Rut, dan lokasi makam Rahel yang disebutkan dalam Kejadian. Warisan inilah yang menjadikan keberadaan komunitas Kristen lokal bukan hanya isu politik, tetapi juga sejarah dan iman global.

Secara budaya dan identitas, Kristen Palestina memandang diri mereka sebagai bagian utuh dari bangsa Palestina, berbagi bahasa, sejarah, dan nasib politik dengan mayoritas Muslim. Selama generasi, kedua komunitas hidup berdampingan relatif damai. Namun pendudukan militer Israel, blokade, dan praktik diskriminatif membuat keduanya Kristen maupun Muslim mengalami:

  • Pos pemeriksaan dan pembatasan perjalanan.

  • Penyitaan tanah dan penghancuran rumah.

  • Kekerasan, penahanan, bahkan pembunuhan.

  • Hambatan ibadah dan aktivitas komunitas.

Perubahan besar dimulai setelah pendirian negara Israel pada 1948, yang oleh warga Palestina disebut Nakba (bencana). Sekitar 750.000 warga Palestina terusir atau melarikan diri dari rumah mereka termasuk umat Kristen.

Sebelum itu, survei PBB tahun 1946 mencatat sekitar 145.000 Kristen Palestina, atau ±12% dari populasi Arab Palestina. Setelah perang 1948, banyak yang mengungsi ke Yordania, Lebanon, dan Suriah.

Pendudukan lanjutan serta perang berkala memperburuk eksodus. Data statistik resmi Israel mencatat bahwa emigrasi bersih warga Palestina dari Tepi Barat & Gaza 1967-1989 mencapai ±300.000 orang (rata-rata 13.000 per tahun).

Data Badan Statistik Palestina (2020) menunjukkan populasi Kristen turun menjadi sekitar 8%, dan perkiraan terbaru menempatkannya tinggal 6%. Penurunan ini dikaitkan dengan:

  • Kekerasan dan invasi berulang.

  • Pembatasan pembangunan komunitas.

  • Kesulitan memperoleh visa & izin tinggal bagi rohaniwan.

  • Hambatan reunifikasi keluarga.

  • Tekanan ekonomi dan sosial akibat blokade (khususnya Gaza sejak 2007).

  • Ketidakpastian politik karena molornya pembentukan negara Palestina yang berdaulat.

Laporan Kebebasan Beragama Internasional (Depdagri AS, Juli-Desember 2010) juga mencatat keluhan para pemimpin gereja Palestina tentang pembatasan lahan, aturan bangunan, masalah pajak, dan persoalan izin, yang mendorong emigrasi Kristen dari Betlehem, Yerusalem, dan Ramallah.

Dari sekitar dua juta penduduk Gaza, hanya ±1.000 orang yang beragama Kristen angka yang terus dipertaruhkan di tengah perang, blokade, dan hancurnya infrastruktur sipil.

Michael Azar, profesor teologi dan studi agama di Amerika Serikat, memperingatkan bahwa kemungkinan terhapusnya kekristenan di Gaza nyata adanya. Keluarga-keluarga Kristen di sana kini menghadapi krisis ekstrem seperti kehilangan rumah, ketiadaan makanan dan air bersih, serta ancaman serangan berulang bahkan terhadap tempat-tempat perlindungan seperti gereja Ortodoks dan Latin yang selama ini menampung warga tanpa memandang agama.

  • Warisan Iman Global: Kristen Palestina menjaga situs dan tradisi gerejawi paling tua di dunia.

  • Jembatan Dialog: Kehadiran mereka memperkuat hubungan lintas agama di Tanah Suci.

  • Identitas Palestina Plural: Bukti bahwa Palestina bukan monokultur agama, melainkan rumah bagi keragaman sejarah.

  • Indikator Perlindungan Sipil: Nasib minoritas kerap menjadi cermin kualitas perlindungan hak asasi di wilayah konflik.

Serangan terhadap gereja baik Saint Porphyrius maupun Gereja Keluarga Kudus memicu seruan global agar situs-situs keagamaan dan warga sipil dilindungi sesuai hukum humaniter internasional. Indonesia telah menyampaikan kecaman resmi seperti kelompok-kelompok gereja internasional, organisasi hak asasi, dan akademisi menyerukan koridor kemanusiaan serta jaminan ibadah aman lintas agama di Tanah Suci.

Di balik angka statistik dan pernyataan diplomatik, penderitaan komunitas ini nyata: anak-anak trauma, keluarga tercerabut, sejarah nyaris padam. Namun keteguhan iman tetap menyala seperti yang diucapkan Ibrahim Jahsan di reruntuhan gereja tempat ia dibaptis

“Kami dibaptis di sini, dan kami akan mati di sini.”

(Redaksi)