IDENESIA.CO - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali menjadi sorotan dunia internasional setelah mengklaim berhasil mendorong Thailand dan Kamboja untuk melakukan perundingan gencatan senjata di tengah konflik bersenjata yang memanas di wilayah perbatasan kedua negara. Namun, langkah Trump ini tidak lepas dari tekanan ekonomi ia mengancam akan memberlakukan tarif tinggi atas ekspor kedua negara ke Amerika Serikat jika konflik tidak segera dihentikan.
Pernyataan tersebut disampaikan Trump melalui platform media sosialnya, Truth Social, yang dilansir oleh CNN pada Minggu (27/7/2025). Dalam serangkaian unggahan, Trump menyebut dirinya telah melakukan komunikasi langsung dengan Perdana Menteri Kamboja Hun Manet dan Pelaksana Tugas Perdana Menteri Thailand, Phumtham Wechayachai, dalam upaya menengahi konflik perbatasan yang telah menewaskan puluhan orang dan menyebabkan lebih dari 120.000 warga mengungsi.
“Mereka telah sepakat untuk segera bertemu dan menyusun gencatan senjata dan, pada akhirnya, perdamaian!” tulis Trump.
Langkah diplomasi Trump tidak datang tanpa tekanan. Sebelum mengklaim tercapainya kesepakatan awal, Trump telah mengirimkan surat resmi kepada kedua negara pada pekan sebelumnya, berisi ancaman pengenaan tarif sebesar 36 persen atas sebagian besar ekspor Thailand dan Kamboja ke AS, efektif mulai 1 Agustus jika konflik tidak dihentikan.
“Mereka juga ingin kembali ke meja perundingan dagang dengan Amerika Serikat, yang menurut kami tidak pantas dilakukan sampai pertempuran berhenti,” tambahnya dalam unggahan tersebut.
Pejabat dari kedua negara menyebut bahwa mereka telah memberikan penawaran substansial dalam pembicaraan perdagangan sebelumnya demi memperkuat hubungan ekonomi dengan Washington. Namun, ancaman tarif tersebut secara langsung memaksa keduanya mempertimbangkan kembali jalur militer yang tengah ditempuh.
Menanggapi tekanan dari AS, Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet, menyatakan apresiasinya kepada Trump atas intervensi diplomatik tersebut. Ia juga menegaskan bahwa Kamboja menyetujui “usulan gencatan senjata segera dan tanpa syarat antara kedua angkatan bersenjata.”
Sebelumnya, Hun Manet telah meminta dukungan dari Ketua ASEAN dan Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, untuk mendorong gencatan senjata di kawasan.
Di sisi lain, otoritas Thailand masih menyuarakan keraguan terhadap komitmen Kamboja. Bangkok meminta Phnom Penh menunjukkan “ketulusan sejati dalam mengakhiri konflik” sebelum kesepakatan damai bisa benar-benar diwujudkan. Meski Kamboja telah menyerukan gencatan senjata, bentrokan tetap terjadi hingga Sabtu (26/7), dengan laporan saling tuduh terkait pelanggaran wilayah dan penembakan artileri.
Militer Kamboja menuduh pihak Thailand menembakkan lima peluru artileri berat ke wilayah Provinsi Pursat, sedangkan militer Thailand melaporkan pertempuran hebat di area Ban Chamrak, Distrik Muang, yang berbatasan dengan Kamboja.
Konflik bersenjata terbaru ini bermula dari sengketa lama di kawasan Segitiga Zamrud, wilayah strategis yang mempertemukan perbatasan Thailand, Kamboja, dan Laos. Perselisihan atas kepemilikan dan akses militer di wilayah ini telah berlangsung selama puluhan tahun, dan sesekali meletus menjadi bentrokan militer seperti yang terjadi saat ini.
Ketegangan yang memuncak sejak Kamis (24/7) lalu telah melibatkan penggunaan jet tempur, artileri, tank, dan pasukan darat, memperbesar risiko eskalasi menjadi konflik regional.
Meskipun tekanan ekonomi dari AS tampaknya mendorong dimulainya langkah diplomatik, banyak pihak menilai solusi jangka panjang hanya bisa dicapai melalui keterlibatan aktif ASEAN dan lembaga multilateral lainnya.
Konflik ini menjadi ujian nyata bagi efektivitas diplomasi regional dan global dalam menangani sengketa teritorial yang kompleks dan sarat dimensi historis dan nasionalisme.
Bagi Trump, insiden ini juga menjadi panggung untuk menunjukkan pendekatan luar negeri bergaya transaksional: diplomasi yang dibungkus dengan kalkulasi ekonomi. Apakah pendekatan ini akan membuahkan perdamaian permanen atau hanya menjadi solusi sementara, masih menjadi pertanyaan besar di tengah medan diplomasi Asia Tenggara yang terus bergolak.
(Redaksi)