IDENESIA.CO - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) meminta pemerintah untuk meninjau kembali regulasi terkait pembayaran royalti musik oleh pelaku usaha di sektor restoran dan kafe. Hal ini menyusul polemik terbaru yang melibatkan PT Mitra Bali Sukses (Mie Gacoan Bali) yang dituding melanggar hak cipta karena tidak membayar royalti musik yang nilainya ditaksir mencapai miliaran rupiah.
Sekretaris Jenderal PHRI, Maulana Yusran, menyampaikan bahwa skema pembayaran royalti yang berlaku saat ini dianggap terlalu membebani pelaku usaha, khususnya di sektor F&B (food and beverage). Ia menilai perlu ada solusi bersama agar aturan tersebut bisa diterapkan secara adil dan rasional.
“Sebenarnya harus tercipta solusi di ruang publik untuk mencari jalan keluar,” ujar Yusran kepada Kompas.com, Selasa (29/7/2025).
Aturan mengenai pembayaran royalti musik bagi pelaku usaha restoran dan kafe diatur dalam Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti untuk Pengguna Komersial Musik dan Lagu.Tarif royalti ditetapkan sebesar Rp 60.000 per kursi per tahun untuk Royalti Pencipta dan Rp 60.000 per kursi per tahun untuk Royalti Hak Terkait, sehingga totalnya mencapai Rp 120.000 per kursi per tahun.
Dengan jumlah outlet dan kursi yang banyak, seperti yang dimiliki Mie Gacoan Bali, akumulasi biaya royalti ini bisa mencapai angka yang sangat besar setiap tahunnya.
Yusran menilai, skema pembayaran royalti berdasarkan jumlah kursi sangat tidak relevan dan perlu dikaji ulang. Menurutnya, belum tentu semua kursi terisi setiap hari, namun pemilik usaha tetap diwajibkan membayar royalti seolah seluruh kursi digunakan untuk mendengarkan musik.
“Padahal belum tentu semua kursi di restoran terisi penuh. Target royalti musik ini seharusnya kepada semua pengguna lagu, dan cakupannya luas,” jelas Yusran.
Ia menambahkan, ketentuan ini tidak mempertimbangkan fluktuasi pendapatan restoran yang bisa sangat dinamis sepanjang tahun. Oleh karena itu, PHRI mendorong agar pemerintah bisa lebih bijak dalam menyesuaikan regulasi agar tidak menjadi beban tambahan bagi dunia usaha, terutama pasca pandemi dan di tengah tantangan ekonomi.
“Sebaiknya kita lihat pendapatan restoran dalam setahun, apakah menguntungkan atau tidak. Pemerintah harus memahami ketimpangan antara aturan UU dan implementasi di lapangan,” imbuhnya.
Yusran juga menyoroti bahwa tidak semua musik yang diputar di restoran menjadi daya tarik pengunjung. Dalam beberapa kasus, justru lagu tersebut menjadi bagian dari promosi tidak langsung bagi penyanyi atau pencipta lagu.
“Belum tentu lagu yang diputar disukai oleh tamu. Tapi kan di situ ada nilai promosi, seharusnya ini juga menjadi pertimbangan,” ucapnya.
PHRI, kata Yusran, selama ini telah berupaya menjadi jembatan antara pelaku usaha dan pihak yang mewakili pemilik hak cipta. Namun, asosiasi tidak memiliki wewenang untuk memaksa para pelaku usaha membayar royalti.
“Asosiasi tidak bisa memaksa bisnis untuk melakukan itu. Semuanya kembali kepada pemilik usaha,” tegasnya.
Dengan mencuatnya kasus royalti musik ini, PHRI berharap pemerintah membuka ruang dialog yang lebih terbuka dengan semua pihak terkait, agar regulasi yang ada bisa memberikan perlindungan hak cipta sekaligus tidak menimbulkan tekanan berlebih bagi pelaku usaha.
(Redaksi)