IDENESIA.CO - Amerika Serikat (AS) segera menerapkan aturan baru yang dapat mempersulit akses masuk ke Negeri Paman Sam, terutama bagi pemohon visa bisnis dan wisata dari negara-negara tertentu, termasuk Indonesia. Dalam kebijakan terbaru yang diumumkan Departemen Luar Negeri AS, warga negara asing akan diminta menyetorkan uang jaminan hingga US$15.000 atau sekitar Rp245,8 juta sebagai syarat pengajuan visa.
Aturan ini merupakan bagian dari program percontohan yang akan berlangsung selama 12 bulan, dan akan dimulai 15 hari setelah dipublikasikan secara resmi di Federal Register, pada Selasa (5/8/2025). Kebijakan ini menyasar pemohon visa dari negara-negara yang dianggap memiliki tingkat pelanggaran masa tinggal visa tinggi atau lemah dalam pengawasan keamanan dokumen internal.
Program tersebut menetapkan tiga kategori uang jaminan, yakni US$5.000, US$10.000, dan US$15.000, yang akan dikenakan tergantung pada penilaian risiko negara asal pemohon.
"Langkah ini diambil untuk memberikan perlindungan finansial bagi pemerintah AS jika pemegang visa tidak mematuhi aturan masa tinggal atau melanggar ketentuan visa," demikian bunyi pernyataan dari Departemen Luar Negeri AS.
Dalam dokumen yang akan segera dirilis tersebut, AS juga menyoroti negara-negara yang menawarkan kewarganegaraan melalui skema investasi tanpa syarat residensi, yang dianggap berisiko dalam hal keamanan.
Meski daftar resmi negara-negara yang terdampak belum diumumkan, Indonesia tidak termasuk dalam Program Bebas Visa AS (Visa Waiver Program). Artinya, Warga Negara Indonesia (WNI) yang hendak berkunjung ke AS untuk urusan bisnis atau wisata berpotensi menjadi subjek dari kebijakan baru ini, termasuk keharusan membayar uang jaminan dalam jumlah besar.
Namun demikian, pihak berwenang menyebutkan bahwa pengecualian dapat diberikan berdasarkan pertimbangan kondisi individu pemohon.
Sebelumnya, wacana mengenai kebijakan jaminan visa ini pernah muncul, namun tidak pernah diterapkan secara resmi karena dinilai menambah beban administrasi dan berisiko menciptakan persepsi negatif publik. Kini, Departemen Luar Negeri AS menyatakan bahwa penilaian lama tersebut tidak didukung oleh bukti terkini, karena belum ada implementasi nyata untuk dijadikan acuan.
Dengan diberlakukannya kebijakan ini, para calon pelancong dari berbagai negara, termasuk Indonesia, diimbau untuk lebih berhati-hati dan siap secara finansial sebelum mengajukan visa masuk ke AS. Program ini juga berpotensi menurunkan jumlah kunjungan wisata dan perjalanan bisnis dari negara-negara yang terdampak.
(Redaksi)