IMG-LOGO
Home Nasional Mulai 2029, Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah: MK Cabut Format Serentak 5 Kotak
nasional | umum

Mulai 2029, Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah: MK Cabut Format Serentak 5 Kotak

oleh VNS - 01 Juli 2025 11:07 WITA
IMG
Pemilu Nasional dan Daerah akan dilakukan secara terpisah (Ist)

IDENESIA.CO - Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan penting yang mengubah lanskap pemilihan umum Indonesia. Mulai tahun 2029, penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu daerah tidak lagi dilakukan secara bersamaan seperti selama ini dikenal dengan sebutan “Pemilu 5 Kotak”.


Keputusan ini diambil dalam Sidang Pleno Pengucapan Putusan MK yang digelar pada Kamis, 26 Juni 2025, terkait permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Pemilu oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 tersebut, MK menyatakan bahwa sistem pemilu serentak yang berlaku saat ini tidak menjamin kualitas demokrasi, efektivitas pemerintahan, maupun kesederhanaan dalam memilih bagi rakyat.

Format Baru: Nasional Dulu, Daerah Menyusul

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menegaskan bahwa pemungutan suara untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden akan dilaksanakan terlebih dahulu. Selanjutnya, dalam jangka waktu paling cepat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan, barulah pemilihan kepala daerah dan DPRD diselenggarakan secara serentak.

Model ini dinilai lebih sesuai dengan prinsip pemilu yang berkualitas, proporsional, dan memperhatikan kapasitas pemilih serta lembaga penyelenggara.

“Format pemilu serentak dalam lima kotak menimbulkan kerumitan teknis, kejenuhan pemilih, serta tumpukan beban kerja yang berdampak pada kualitas demokrasi,” ujar Wakil Ketua MK, Saldi Isra.

Isu Daerah Tertinggal dalam Pemilu Serentak

Mahkamah menyampaikan keprihatinannya atas kecenderungan tenggelamnya isu-isu pembangunan daerah di tengah riuhnya kontestasi politik nasional. Ketika pemilu presiden dan legislatif pusat disatukan dengan pemilihan kepala daerah, rakyat kesulitan menilai secara objektif kebutuhan dan persoalan lokal yang sebenarnya sangat penting.

“Pemilu serentak membuat agenda lokal tersisih oleh isu nasional. Ini melemahkan otonomi daerah dan kualitas perwakilan di level lokal,” tegas Mahkamah dalam amar pertimbangannya.

Dampak pada Partai Politik dan Kaderisasi

Hakim Konstitusi Arief Hidayat menambahkan bahwa model pemilu serentak selama ini berdampak buruk terhadap pelembagaan partai politik. Terlalu sempitnya rentang waktu antara tahapan pemilu legislatif dan kepala daerah menyebabkan partai kesulitan mempersiapkan kader, melakukan penjaringan, dan membangun strategi secara berjenjang.

Alhasil, kata Arief, partai-partai lebih cenderung mengusung kandidat karena popularitas ketimbang kapasitas. Proses rekrutmen menjadi transaksional dan jauh dari nilai ideal demokrasi.

Penyelenggara Pemilu Kewalahan

MK juga menyoroti beban berat yang dialami oleh penyelenggara pemilu. Dalam Pemilu 2024, misalnya, terjadi penumpukan tahapan antara pemilu nasional dan daerah yang menguras tenaga dan anggaran. Selain itu, sebagian besar masa jabatan penyelenggara tidak terpakai secara maksimal karena tugas inti hanya berlangsung dua tahun dari lima tahun masa jabatan.

Kondisi ini, menurut MK, tidak sehat dalam perspektif kelembagaan negara dan merugikan proses demokrasi yang memerlukan pengawasan dan kesiapan berkelanjutan.

Pemilih Tidak Fokus

Dari sisi pemilih, Mahkamah menekankan bahwa model lima kotak dengan banyak calon dalam satu waktu memicu kelelahan mental dan kejenuhan. Waktu mencoblos menjadi sempit, sementara beban kognitif meningkat akibat pilihan yang terlalu banyak dan kompleks.

“Fokus pemilih terpecah, tingkat kesalahan meningkat, dan potensi apatisme meluas. Ini membahayakan kualitas kedaulatan rakyat,” tambah Saldi Isra.

Pengaturan Masa Transisi Diserahkan ke DPR

Terkait masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD hasil Pemilu 2024, Mahkamah menyerahkan sepenuhnya kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan model transisinya. Rekayasa konstitusional perlu dilakukan agar masa jabatan tidak terganggu dan tetap sesuai dengan prinsip-prinsip hukum transisional yang adil.

Amar Putusan: Kabul Sebagian

Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa sejumlah pasal dalam UU Pemilu dan UU Pilkada tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Pasal-pasal tersebut harus dimaknai ulang agar sejalan dengan skema pemilu terpisah: nasional terlebih dahulu, kemudian daerah.

Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada dinyatakan inkonstitusional bersyarat, kecuali dimaknai bahwa pemilu daerah dilaksanakan dalam rentang 2 hingga 2,5 tahun setelah pemilu nasional.

Penutup

Putusan Mahkamah Konstitusi ini menjadi tonggak penting dalam reformasi sistem pemilu Indonesia. Dengan skema pemisahan jadwal, MK berharap kualitas pemilu semakin membaik, peran daerah semakin kuat, partai politik lebih sehat secara kelembagaan, dan pemilih bisa lebih bijak dalam menentukan pilihan politiknya.

(Redaksi)