IDENESIA.CO - Sebuah pesta pernikahan mewah yang digelar oleh pasangan selebriti kaya asal Timur Tengah di situs warisan dunia Petra, Yordania, telah memicu gelombang kemarahan publik. Pernikahan yang dikabarkan menelan biaya lebih dari USD 40 juta atau sekitar Rp 652 miliar (kurs Rp 16.300 per USD) itu dinilai sebagai simbol ketimpangan sosial dan bentuk perampasan ruang publik demi kepentingan elite.
Acara yang berlangsung selama tiga hari itu diselenggarakan secara eksklusif di kompleks arkeologi Petra, yang biasanya hanya terbuka bagi wisatawan dan peneliti. Selama perayaan, akses publik ditutup, sementara tamu-tamu penting dari dunia hiburan, bisnis, dan kerajaan diterbangkan dengan helikopter pribadi dan dijamu dengan layanan ultra-luxury di dalam situs bersejarah tersebut.
Namun, kemewahan itu berbalik menjadi kontroversi. Hanya sehari setelah pernikahan digelar, ratusan warga dan aktivis budaya menggelar demonstrasi besar-besaran di pusat kota Amman dan sekitar pintu masuk Petra. Mereka menyuarakan penolakan keras terhadap komersialisasi warisan budaya yang dianggap sebagai milik bersama umat manusia.
“Petra bukan latar belakang foto Instagram untuk para miliarder! Itu adalah warisan bangsa kami dan dunia,” teriak seorang demonstran dari podium, dikutip media lokal Al-Ghad.
Aksi protes yang sebagian besar diikuti anak muda dan kelompok pelestari budaya berlangsung damai namun penuh semangat. Spanduk bertuliskan “Kami bukan figuran untuk pesta orang kaya!” dan “Petra untuk rakyat, bukan untuk pesta privat!” menghiasi barisan demonstran.
Kemarahan warga dipicu bukan hanya oleh besarnya biaya pesta, tetapi juga karena dampak sosial dan simbolik dari acara tersebut. Banyak warga menyoroti ironi ketika sebagian besar rakyat Yordania menghadapi krisis ekonomi, sementara situs nasional mereka dijadikan latar pesta glamor yang tertutup.
“Kami mencintai Petra, tapi bukan versi Petra yang dijadikan properti pribadi selama tiga hari. Ini bukan hanya tentang izin acara ini tentang etika, tentang rasa hormat terhadap budaya dan sejarah kami,” ujar seorang arkeolog muda yang ikut berdemo.
Pakar kebudayaan juga menyuarakan kekhawatiran. Mereka menilai bahwa penyewaan lokasi bersejarah untuk kegiatan privat berskala besar membuka preseden buruk.
“Warisan dunia bukan hanya soal batu dan bangunan, tapi tentang nilai bersama. Ketika itu disulap jadi pesta pribadi, maka kita sedang menghapus memori kolektif demi citra elite,” ujar Dr. Samira Al-Fayez, pengamat warisan budaya Timur Tengah.
Kritik juga datang dari aktivis lingkungan. Mereka mempertanyakan bagaimana ratusan lampu sorot, speaker raksasa, hingga sistem pendingin portabel didatangkan dan dipasang di situs yang rapuh secara geologis.
Sejumlah pengamat menyebut peristiwa ini sebagai potret kontras kapitalisme global yang menjadikan ruang publik sebagai ajang pamer kekuasaan. Di tengah keterbatasan ekonomi dan ketimpangan sosial yang makin menganga, pesta semacam ini dianggap sebagai bentuk “privatisasi ruang simbolik”.
“Secara hukum mungkin tidak melanggar. Tapi secara moral, ini mencerminkan arogansi kelas atas yang merasa dunia bisa disewa hanya karena mereka mampu membayar,” kata seorang kolumnis Jordan Times.
Tak hanya warga Yordania, sejumlah organisasi internasional turut menyuarakan keprihatinan. Petisi daring yang menuntut pelarangan acara privat di situs warisan dunia telah ditandatangani lebih dari 100.000 orang dalam dua hari.
Aksi protes ini menegaskan bahwa penolakan bukan semata pada satu pasangan selebriti, tapi pada pola kekuasaan yang menjadikan sejarah dan budaya sebagai “properti elite”.
Sebagaimana tertulis dalam salah satu poster protes:
“Petra adalah cerita leluhur kami bukan panggung pesta yang dilupakan besok pagi.”
(Redaksi)