IDENESIA.CO - Keputusan Presiden RI Prabowo Subianto memberikan amnesti dan abolisi kepada dua terdakwa kasus korupsi Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong menuai gelombang kritik dari kalangan akademisi, pegiat antikorupsi, dan masyarakat sipil. Kebijakan ini dinilai melemahkan integritas hukum dan menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.
Amnesti merupakan hak presiden memberikan pengampunan kepada pelaku tindak pidana, sementara abolisi adalah penghapusan proses hukum terhadap pelaku kejahatan. Meski secara konstitusional sah, pemberian kedua bentuk pengampunan ini harus melibatkan konsultasi dengan DPR. Namun, kritik muncul karena konteks dan penerapannya kali ini dianggap tidak sesuai dengan semangat keadilan dan transparansi.
Dosen Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai bahwa keputusan ini adalah bukti bahwa hukum tengah dimainkan untuk kepentingan politik.
“Kalau memang mau memaafkan Hasto dan Tom, kenapa harus melalui drama pengadilan dulu? Bukankah Polri, Kejaksaan, dan KPK berada di bawah Presiden? Ini bukan soal hukum, tapi soal pengendalian kekuasaan,” tegas Feri, Jumat (1/8).
Ia juga mengingatkan bahwa langkah ini membuka ruang bagi politisi untuk menjadikan proses hukum sebagai panggung drama, sebelum akhirnya diselamatkan oleh "pahlawan politik" yang muncul di akhir cerita.
Hal senada disampaikan pengajar Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah (Castro), yang menilai pemberian amnesti dan abolisi ini sebagai keputusan keliru.
“Amnesti dan abolisi dijadikan alat kompromi politik. Ini perkara korupsi loh, bukan tahanan politik seperti masa Orde Baru,” ujar Castro.
Ia menegaskan, tidak pernah ada presiden sebelumnya amnesti atau abolisi diberikan untuk kasus korupsi, karena derajat kejahatannya tidak memungkinkan untuk kompromi.
Mantan penyidik senior KPK Novel Baswedan turut mengungkapkan kekecewaannya. Menurutnya, penggunaan amnesti dan abolisi untuk perkara korupsi adalah langkah yang sangat menyimpang dari komitmen pemerintah dalam memerangi korupsi.
“Saya prihatin dan kecewa. Ini akan melemahkan komitmen melawan korupsi. Apalagi saat KPK sedang dilumpuhkan,” ujarnya melalui pesan tertulis.
Novel juga menyoroti bahwa dalam kasus Tom Lembong, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan kerugian negara akibat impor gula. Sementara kasus Hasto merupakan bagian dari rangkaian kejahatan korupsi yang melibatkan pelaku lain, termasuk yang masih buron. Alih-alih mendalami kasus, pemerintah justru memberikan pengampunan.
“Ini bertentangan dengan janji Presiden untuk menyikat habis korupsi. Justru terlihat bahwa pemberantasan korupsi tidak mendapat tempat di pemerintahan ini,” tambah Novel.
Lembaga Indonesia Memanggil (IM57+) Institute, yang didirikan oleh eks pegawai KPK, menilai tindakan ini sebagai upaya mengakali sistem hukum demi kepentingan politik.
“Ini terang-benderang bentuk pengkhianatan terhadap proses penegakan hukum dan janji pemberantasan korupsi,” kata Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito.
Lakso menyebut pemberian amnesti dan abolisi dalam kasus korupsi berbahaya karena menyelesaikan pelanggaran hukum lewat kesepakatan politik yang mengabaikan aspirasi rakyat.
“Politisi tidak akan takut korupsi lagi karena bisa dinegosiasikan. Ini akan menghancurkan rule of law di negeri ini,” tegasnya.
Ia pun menyerukan penolakan publik secara luas terhadap langkah Presiden Prabowo tersebut, yang dinilai justru melemahkan legitimasi pemerintah dalam menjalankan agenda antikorupsi.
Langkah Presiden Prabowo memberi amnesti dan abolisi kepada dua tokoh politik yang tersangkut kasus korupsi kini menjadi perbincangan hangat. Kritik datang dari berbagai arah, mulai dari dunia akademik, aktivis hukum, hingga mantan aparat penegak hukum. Semuanya menyuarakan kekhawatiran yang sama: bahwa keputusan ini bisa menjadi titik balik melemahnya integritas hukum di Indonesia dan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
(Redaksi)