IMG-LOGO
Home Umum Bank Dunia Soroti Risiko Pembayaran Utang Indonesia di Tengah Ketidakpastian Global
umum | umum

Bank Dunia Soroti Risiko Pembayaran Utang Indonesia di Tengah Ketidakpastian Global

oleh VNS - 25 Juni 2025 05:34 WITA
IMG
Utang Indonesia kepada Bank Dunia di Sorot

IDENESIA.CO - Bank Dunia menyoroti posisi utang pemerintah Indonesia di tengah kondisi ekonomi global yang masih dibayangi ketidakpastian. Dalam Laporan Indonesia Economic Prospects edisi Juni 2025 yang diluncurkan di Jakarta, Senin (23/6/2025), Bank Dunia mengingatkan potensi meningkatnya beban utang akibat tingginya imbal hasil obligasi dan bunga pinjaman.


Lead Economist Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Habib Rab, menjelaskan bahwa dalam situasi global yang penuh tekanan, tren imbal hasil dan spread obligasi cenderung meningkat, terutama karena suku bunga global masih berada pada level tinggi. Kondisi ini, menurutnya, dapat memicu kenaikan biaya pinjaman pemerintah.

“Imbal hasil obligasi cenderung meningkat. Faktanya, spread obligasi juga meningkat, khususnya ketika suku bunga secara umum tetap tinggi secara global, dan ini meningkatkan biaya pinjaman ketika ketidakpastian ekonomi meningkat,” ujar Habib.

Habib mengungkapkan, meskipun rasio utang pemerintah Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih berada di bawah 40%, namun rasio bunga utang terhadap pendapatan masih terbilang tinggi dan belum berada dalam zona aman. Saat ini, rasio tersebut mencapai sekitar 20%, jauh di atas rata-rata negara berpenghasilan menengah ke atas yang berada di kisaran 8,5%.

“Artinya, Indonesia perlu meningkatkan pendapatan negara, agar kemampuan membayar utangnya bisa lebih sehat,” jelasnya.

Ia juga menyoroti belum optimalnya sistem penerimaan negara yang menjadi sumber utama pembayaran utang. Ketika penerimaan negara terbatas, otomatis kemampuan untuk membayar utang juga akan ikut tertekan.

“Pasar keuangan Indonesia masih relatif dangkal. Jika banyak perusahaan tidak memanfaatkan sistem keuangan untuk bertransaksi atau berinvestasi, maka akan lebih mudah bagi mereka untuk menghindari pajak,” katanya.

Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa hingga 31 Mei 2025, realisasi pembiayaan utang pemerintah mencapai Rp349,3 triliun. Angka ini melonjak signifikan dibanding periode yang sama tahun-tahun sebelumnya: Rp132,16 triliun (2024), Rp150,39 triliun (2023), dan Rp90,97 triliun (2022). Nilai ini bahkan mendekati rekor pembiayaan utang saat pandemi COVID-19 pada 2020 yang mencapai Rp360,66 triliun.

Jika dilihat dari persentase terhadap target pembiayaan utang 2025 yang sebesar Rp775,87 triliun, realisasi ini telah mencapai 45,02%. Ini merupakan capaian tertinggi dalam lima tahun terakhir untuk periode yang sama, melebihi pencapaian tahun 2024 (20,4%), 2023 (21,6%), 2022 (9,3%), 2021 (28%), dan 2020 (35,8%).

Namun di sisi lain, kemampuan pemerintah dalam membayar utang mendapat tekanan seiring dengan penurunan penerimaan negara. Hingga akhir Mei 2025, penerimaan pajak tercatat sebesar Rp683,3 triliun, atau baru 31,2% dari target dalam APBN 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, penerimaan ini mengalami kontraksi sebesar 10,14%. Kontraksi serupa juga terjadi pada April 2025 dengan penurunan 10,8% secara tahunan.

Sejalan dengan peringatan Bank Dunia, Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, turut menggarisbawahi adanya sinyal kewaspadaan terkait kemampuan pemerintah membayar utang.

“Dari sisi penerimaan negara yang relatif rendah dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah harus lebih waspada. Kebutuhan membayar utang meningkat, namun kemampuan melunasinya tidak berkembang secepat peningkatan utangnya,” ujar Yusuf.

Ia menekankan pentingnya pengelolaan belanja negara agar utang yang ditarik mampu menghasilkan dampak positif terhadap perekonomian. Menurutnya, belanja yang efektif bisa memicu pertumbuhan ekonomi sehingga rasio utang terhadap PDB dapat ditekan atau bahkan menurun.

“Jika belanja pemerintah bisa dieksekusi dengan baik dan berdampak besar pada pertumbuhan ekonomi, maka peluang untuk menurunkan rasio utang terhadap PDB akan terbuka,” pungkasnya.

(Redaksi)