IDENESIA.CO - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali mengejutkan dunia dengan kebijakan perdagangan terbarunya. Dalam pekan kedua Juli 2025, pemerintahannya resmi menaikkan tarif impor bagi produk dari 22 negara, termasuk Indonesia, yang dikenai tarif sebesar 32 persen.
Kebijakan ini diumumkan dalam dua gelombang. Pada Senin (7/7/2025) waktu setempat, Gedung Putih merilis daftar 14 negara yang langsung terdampak. Sisanya diumumkan secara bertahap pada Rabu dan Kamis, bersamaan dengan rincian tarif masing-masing negara.
Tarif baru ini akan mulai diberlakukan pada 1 Agustus 2025. Meski begitu, Trump kembali menyatakan bahwa tarif bisa dinegosiasikan ulang, dengan syarat negara-negara tersebut bersedia berinvestasi langsung atau membangun fasilitas produksi di wilayah AS.
“Tarif ini masih jauh di bawah apa yang dibutuhkan untuk menutup defisit perdagangan yang besar antara AS dan negara-negara tersebut,” ujar Trump dalam pernyataan tertulis yang dikirimkan ke masing-masing pemimpin negara.
Dibandingkan kebijakan tarif sebelumnya pada April 2025, beberapa negara mengalami lonjakan signifikan. Brasil misalnya, mengalami kenaikan drastis dari 10% menjadi 50%. Sementara Indonesia tetap dikenakan tarif stabil di angka 32%, tidak berubah sejak kebijakan sebelumnya.
Berikut daftar lengkap negara-negara yang dikenai tarif dan perbandingan dengan April 2025:
Brasil (50% vs 10%)
Laos (40% vs 48%)
Myanmar (40% vs 44%)
Kamboja (36% vs 49%)
Thailand (36% vs 36%)
Bangladesh (35% vs 37%)
Serbia (35% vs 37%)
Indonesia (32% vs 32%)
Aljazair (30% vs 30%)
Bosnia Herzegovina (30% vs 35%)
Irak (30% vs 39%)
Libya (30% vs 31%)
Sri Lanka (30% vs 44%)
Afrika Selatan (30% vs 30%)
Brunei Darussalam (25% vs 24%)
Kazakhstan (25% vs 27%)
Malaysia (25% vs 24%)
Moldova (25% vs 31%)
Korea Selatan (25% vs 25%)
Tunisia (25% vs 28%)
Jepang (25% vs 24%)
Filipina (20% vs 17%)
Trump beralasan bahwa defisit perdagangan jangka panjang membuat AS “dimanfaatkan secara tidak adil”. Ia menilai bahwa kenaikan tarif ini adalah bagian dari langkah menyeimbangkan neraca perdagangan dan memulihkan industri dalam negeri.
Namun, sejumlah ekonom dan pengamat kebijakan internasional menilai kebijakan ini kontraproduktif. Mereka memperingatkan bahwa kenaikan tarif justru bisa memicu pembalasan dagang dan mengganggu rantai pasok global, terutama bagi negara berkembang yang bergantung pada ekspor ke AS.
Indonesia sendiri masih memantau dampak kebijakan ini. Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri tengah melakukan analisis dan mempertimbangkan langkah diplomatik lanjutan.
Apabila tak tercapai kesepakatan, Indonesia bisa menempuh jalur negosiasi bilateral atau mengajukan keberatan melalui mekanisme Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
(Redaksi)