IMG-LOGO
Home Nasional Warga Sanga-Sanga Terpapar Gas, JATAM Kaltim Desak Pertamina Tanggung Jawab dan Hentikan Operasi
nasional | umum

Warga Sanga-Sanga Terpapar Gas, JATAM Kaltim Desak Pertamina Tanggung Jawab dan Hentikan Operasi

oleh VNS - 04 Juli 2025 13:20 WITA
IMG
FOTO : Lokasi pengeboran Pertamina PDSI di Sanga-sanga yang menjadi sorotan JATAM Kaltim. (IST)

IDENESIA.CO - Empat belas hari pasca semburan gas bercampur api dari sumur pengeboran milik PT Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS) di Kelurahan Jawa, Kecamatan Sanga-Sanga, desakan pencabutan izin operasi kian menguat.

 Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur menyatakan bahwa insiden ini bukan sekadar kecelakaan teknis, melainkan bentuk kelalaian struktural yang membahayakan warga dan lingkungan.

Insiden yang terjadi pada Kamis, 19 Juni 2025 pukul 05.00 WITA itu memicu kepanikan hebat. Berdasarkan kesaksian warga, semburan gas dan api mencapai ketinggian sekitar 12 meter dengan bau menyengat yang membuat sebagian warga mengalami pusing, mual, dan sesak napas.

Dalam keterangan tertulisnya pada Jumat (5/7/2025), Dinamisator JATAM Kaltim, Mareta Sari, menyebut perusahaan tidak melakukan sosialisasi, tidak menyampaikan informasi secara transparan, dan lalai dalam memberikan perlindungan terhadap warga di sekitar lokasi pengeboran.

“Kami menemukan bukti-bukti kuat di lapangan bahwa telah terjadi kelalaian dan pelanggaran serius dalam operasional pengeboran ini. Tidak ada transparansi informasi, tidak ada sosialisasi, dan tidak ada perlindungan terhadap warga,” tegas Mareta Sari.

JATAM Kaltim mencatat beberapa indikasi pelanggaran, termasuk pencemaran air, udara, dan tanah. Dari laporan masyarakat, tidak pernah ada dokumen AMDAL atau informasi resmi terkait kegiatan pengeboran di RT 04 tempat kejadian. Bahkan, prosedur tanggap darurat pun tidak pernah diperkenalkan kepada warga.

Yang lebih mengkhawatirkan, lanjut Mareta, perusahaan sempat mencoba menutupi fakta dengan menyebut semburan itu sebagai “flare” atau pembakaran gas buang biasa. Padahal, kondisi di lapangan menunjukkan adanya tekanan gas liar atau blow out yang tidak terkendali.

“Perusahaan harus membuka buku log harian pengeboran dan rekaman CCTV saat kejadian. Mereka tidak bisa terus bersembunyi di balik narasi normalisasi. Ini blow out yang berbahaya,” ujarnya.

Respons pemerintah daerah juga menjadi sorotan tajam JATAM. Menurut Mareta, pengujian terhadap kualitas udara dan air sangat lambat, bahkan air PDAM tetap dialirkan ke warga meski terlihat keruh, berlumpur, dan berbau. Ironisnya, situasi ini berlangsung saat daerah tersebut tengah menggelar Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ).

“Kami mempertanyakan keputusan pemerintah yang tetap mengalirkan air PDAM saat kondisi air masih tercemar. Apakah keselamatan warga lebih rendah nilainya dibandingkan kegiatan seremonial?” kata Mareta.

Lebih lanjut, kompensasi yang diberikan oleh perusahaan dinilai sangat minim dan diskriminatif. Warga hanya mendapat air kemasan, susu kaleng, dan vitamin dalam jumlah terbatas, bahkan tak merata. Hal ini menimbulkan konflik internal antarwarga.

“Ini adalah bentuk penghinaan terhadap akal sehat warga. Kompensasi tidak hanya minim, tapi juga diskriminatif. Ada 166 KK di satu RT, tapi hanya 48 kaleng susu yang dibagikan,” ungkap Mareta.

Untuk itu, JATAM Kaltim mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta otoritas terkait untuk mencabut izin pengeboran sumur LSE-P715 milik PHSS, termasuk izin AMDAL-nya. Mereka juga menyerukan pembentukan tim independen yang melibatkan masyarakat sipil untuk menyelidiki insiden dan mengevaluasi seluruh prosedur operasional Pertamina dan PT Pertamina Drilling Services Indonesia (PDSI).

“Ini bukan semata kecelakaan teknis. Ini adalah skandal kelalaian struktural yang mengorbankan hak hidup dan lingkungan warga. Negara wajib hadir untuk mengusut dan menindak,” tegas Mareta.

Sebagai catatan sejarah, insiden serupa pernah terjadi di Sanga-Sanga pada tahun 1988 yang menyebabkan dua orang meninggal akibat paparan gas beracun. Kini, warga kembali hidup dalam kekhawatiran, merasa tak mendapatkan perlindungan memadai dari negara maupun perusahaan.

 (Redaksi)