IDENESIA.CO - Mengupas dinamika internal konklaf sebagai proses spiritual yang juga sarat diplomasi, strategi, dan negosiasi, di tengah kompleksitas komposisi kardinal yang semakin global.
Di balik keheningan Kapel Sistina dan janji keterpanggilan Roh Kudus, pemilihan Paus baru pada 7 Mei mendatang menyimpan dinamika yang jauh lebih kompleks: tarik-menarik kepentingan lintas budaya, strategi diplomasi Vatikan, hingga lobi-lobi halus di meja makan dan lorong wisma Casa Santa Marta.
Gereja Katolik memasuki babak baru dalam sejarahnya. Dengan wafatnya Paus Fransiskus, konklaf 2025 menjadi panggung perebutan arah masa depan Gereja: apakah tetap dalam semangat reformasi Fransiskus atau kembali pada konservatisme Eropa yang lama mendominasi?
Terdapat 135 kardinal yang akan memegang hak pilih dalam konklaf kali ini. Namun, belum semuanya saling mengenal secara dekat, sebab delapan dari sepuluh pemilih adalah figur baru hasil penunjukan Fransiskusbanyak di antaranya berasal dari kawasan yang sebelumnya tak tersentuh pengaruh Vatikan, seperti Myanmar, Haiti, hingga Rwanda.
“Karena kami tidak saling mengenal satu sama lain. Proses ini bisa saja memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan,” ,” ujar Kardinal Anders Arborelius dari Swedia, dilansir The Guardian.
Sementara Kardinal Reinhard Marx dari Jerman berharap pemilihan dapat selesai dalam beberapa hari, perbedaan latar belakang, bahasa, dan kultur membuat konsensus bukan hal mudah. Gereja kini bukan hanya soal iman, tetapi juga geopolitik internal.
Di balik proses spiritual, terbentuk pula kelompok-kelompok informal yang mencoba menggalang suara. Ada “blok reformis” yang ingin meneruskan semangat inklusif dan progresif Fransiskus, dan ada “blok tradisionalis” yang menginginkan pemulihan otoritas pusat Gereja di Roma.
Kandidat seperti Kardinal Luis Antonio Tagle dari Filipina dan Kardinal Pietro Parolin dari Italia menjadi magnet utama dalam diskusi. Tagle, sosok yang bersahaja namun visioner, menjadi harapan Asia dan Selatan global.
Namun video lamanya yang menyanyikan lagu Imagine John Lennon lagu yang menyiratkan dunia tanpa agama kembali viral dan menimbulkan perdebatan di kalangan konservatif.
Video itu menyenangkan, tapi tidak semua kardinal melihatnya sebagai hal ringan,” ujar seorang pengamat Vatikan.
Sementara dunia menunggu hasil pemungutan suara rahasia, para kardinal memanfaatkan waktu di antara misa dan meditasi untuk berdiskusi santai atau kadang, saling mengamati.
Sebagian memilih mengajak ngobrol di restoran sekitar Vatikan, sementara lainnya menggelar obrolan malam di kamar dengan minuman minibar, yang ternyata tak gratis.
“Seorang sahabat saya tak perlu saya sebut namanya mengira minuman itu gratis. Ia syok saat tagihannya naik,” canda Kardinal Pecorari.
Konklaf kali ini mencerminkan betapa Gereja telah berubah menjadi entitas global yang tak lagi bisa didikte satu benua. Dengan komposisi yang kini lebih inklusif, suara Afrika, Asia, dan Amerika Latin mulai menentukan arah baru.
Namun inklusivitas itu datang dengan tantangan besar: membangun komunikasi lintas budaya, menyeimbangkan nilai-nilai tradisi dan modernitas, serta menemukan sosok pemimpin yang dapat diterima semua pihak.
(Redaksi)