IDENESIA.CO - Warga Kelurahan Jawa, Kecamatan Sanga-Sanga, masih menyimpan kekhawatiran mendalam pasca-ledakan proyek migas milik Pertamina pada 19 Juni 2025 lalu. Meski layanan air bersih telah kembali normal menurut pihak Perumda Tirta Mahakam, warga tetap menuntut jawaban, “apa sebenarnya yang terkandung dalam air yang mereka konsumsi selama hampir dua pekan pascakejadian?”
Bersama Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur, warga secara resmi mengajukan permintaan keterbukaan informasi publik atas hasil uji laboratorium air yang dilakukan oleh PDAM pada 27 Juni 2025. Surat permohonan itu dilayangkan pada 9 Juli 2025, menyusul pemberitahuan PDAM sebelumnya yang mengakui telah terjadi pencemaran air di Intake Sanga-Sanga.
“Kami hanya ingin tahu apa yang sebenarnya masuk ke tubuh kami melalui air leding itu, Warga berhak tahu. Ini bukan cuma soal teknis, ini soal keselamatan,” ujar Mareta Sari, Dinamisator JATAM Kaltim.
Dalam keterangannya, Mareta mengungkapkan bahwa selama setidaknya 13 hari pasca-ledakan, warga terpaksa menggunakan air yang bau minyak, keruh, dan berlumpur. Ia menyayangkan keputusan PDAM yang tetap menyalurkan air demi menyukseskan pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) di wilayah tersebut, kendati kondisi air belum layak konsumsi.
“Ini pelanggaran terhadap hak dasar masyarakat. 3.600 pelanggan air di Sanga-Sanga menjadi korban dari prioritas yang keliru,” tegas Mareta.
Menurutnya, sikap pemerintah daerah dan Pertamina dalam menangani insiden ini mencerminkan lemahnya komunikasi risiko serta minimnya penghormatan terhadap prinsip kehati-hatian dalam layanan publik.
Kemarahan warga makin memuncak karena mereka mengaku tidak pernah diberi pemberitahuan apa pun soal aktivitas migas di sekitar pemukiman. Fakta bahwa proyek migas aktif tanpa keterlibatan atau pemberitahuan kepada warga dinilai mencederai prinsip-prinsip dasar partisipasi publik dan perlindungan keselamatan.
“Ledakan ini bukan kejadian pertama. Tahun 1988 kejadian serupa pernah terjadi, bahkan menelan korban jiwa. Apa gunanya pengalaman kalau tidak dijadikan pelajaran?” kata Mareta.
JATAM Kaltim menilai langkah mendesak yang harus dilakukan saat ini adalah membuka hasil uji laboratorium secara publik sebagai bentuk tanggung jawab dan titik awal pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pelayanan publik maupun korporasi.
Dengan menuntut keterbukaan hasil laboratorium, warga dan JATAM berharap dapat mengantongi data yang dibutuhkan untuk menuntut pertanggungjawaban dari pihak-pihak terkait, terutama Pertamina dan pemerintah daerah.
“Air adalah sumber kehidupan. Jika itu tercemar, maka nyawa pun ikut dipertaruhkan. Kami tidak minta muluk-muluk, hanya transparansi,” pungkas Mareta.
Hingga berita ini diturunkan, PDAM Tirta Mahakam dan pihak Pertamina belum memberikan pernyataan resmi menanggapi permintaan tersebut.
(Redaksi)