IDENESIA .CO - Amerika Serikat melancarkan serangan militer besar-besaran ke Iran pada Minggu dini hari, (22/6/2025) menyasar tiga fasilitas nuklir utama negara, seperti Fordo, Natanz, dan Isfahan.
Serangan ini dilakukan di saat upaya diplomatik antara Iran dan negara-negara Eropa tengah berlangsung di Geneva, Swiss. Serangan udara dan laut ini menandai eskalasi besar dalam ketegangan antara Washington dan Teheran, serta menimbulkan pertanyaan serius mengenai komitmen Amerika terhadap jalur diplomasi.
Enam pesawat pengebom siluman B-2 milik Angkatan Udara AS dilaporkan lepas landas dari Pangkalan Whiteman di Missouri pada Jumat sore waktu Teheran, beberapa saat sebelum dimulainya perundingan antara Iran dan perwakilan Eropa.
Pesawat-pesawat ini menempuh penerbangan nonstop selama 37 jam dengan dukungan pengisian bahan bakar di udara dan menjatuhkan sedikitnya 12 bom penghancur bunker GBU-57 ke fasilitas nuklir Fordo, yang terletak jauh di bawah tanah dan dilindungi lapisan bukit batu.
Selain itu, dua bom serupa juga dijatuhkan ke fasilitas nuklir di Natanz. GBU-57 merupakan bom strategis berbobot 13,6 ton yang dirancang khusus untuk menembus struktur bawah tanah, dan hanya dapat digunakan oleh pesawat B-2.
Diketahui, Amerika Serikat sebelumnya hanya memiliki 24 bom jenis ini, sehingga penggunaan 14 bom dalam satu operasi menunjukkan skala dan keseriusan serangan tersebut.
Serangan dari udara ini dilengkapi dengan serangan dari laut. Kapal selam Amerika Serikat menembakkan sedikitnya 30 rudal jelajah Tomahawk ke arah fasilitas nuklir Natanz dan Isfahan. Citra satelit milik NASA menunjukkan lonjakan panas ekstrem di area Natanz sekitar 30 menit sebelum Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa negaranya telah memulai operasi militer terhadap Iran.
Yang mengejutkan komunitas internasional bukan hanya skala serangan, tetapi juga waktunya. Perintah peluncuran serangan diduga telah dikeluarkan saat perundingan antara Iran dan negara-negara Eropa baru saja dimulai di Geneva. Waktu keberangkatan pesawat pengebom AS dari Missouri bertepatan dengan awal sesi dialog, yang menunjukkan bahwa keputusan militer sudah diambil sebelum diplomasi benar-benar dijalankan.
Presiden Trump sebelumnya sempat menyatakan akan menunda keputusan militer terhadap Iran selama dua pekan untuk memberi kesempatan pada jalur damai, namun keputusan tersebut ternyata tidak dijalankan.
Menteri Luar Negeri Iran Abbas Aragchi menyampaikan rasa frustrasi dan ketidakpercayaannya setelah mengetahui bahwa AS memulai operasi militer saat perundingan sedang berlangsung.
“Sulit untuk percaya pada negara yang mengajak duduk berunding, tetapi pada saat yang sama sedang menjatuhkan bom ke wilayah kami,” ujar Menteri Luar Negeri Iran dalam konferensi pers.
Sementara itu, sejumlah diplomat Eropa yang hadir di Geneva juga mengungkapkan keprihatinan mendalam atas sikap Washington, yang dinilai telah merusak kredibilitas proses diplomasi internasional.
Hingga kini, belum ada tanggapan resmi dari otoritas Iran mengenai tingkat kerusakan akibat serangan. Namun media dalam negeri melaporkan adanya pemadaman listrik dan aktivitas militer intensif di sekitar Natanz dan Fordo.
Di sisi lain, Dewan Keamanan PBB dijadwalkan menggelar pertemuan darurat atas permintaan beberapa negara Eropa, yang menilai aksi militer sepihak AS berpotensi memicu instabilitas besar di kawasan Timur Tengah.
(Redaksi)