IMG-LOGO
Home Nasional Pokja 30 Tanggapi Seruan Bubarkan DPR, Buyung Marajo: Demokrasi Kita Hanya Slogan
nasional | umum

Pokja 30 Tanggapi Seruan Bubarkan DPR, Buyung Marajo: Demokrasi Kita Hanya Slogan

oleh VNS - 25 Agustus 2025 14:48 WITA
IMG
Koordinator Pokja 30, Buyung Marajo yang turut merespon seruan pembubaran DPR yang dinilainya bukan hal mustahil. Foto:Ist

IDENESIA.CO - Isu pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang sempat ramai diperbincangkan di media sosial memicu beragam reaksi. Setelah mendapat tanggapan keras dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni, kini giliran aktivis dan Koordinator Pokja 30, Buyung Marajo, yang menyuarakan sikapnya.


Buyung menilai seruan pembubaran DPR bukanlah hal mustahil dalam sistem demokrasi Indonesia. Menurutnya, langkah itu justru lahir dari kekecewaan masyarakat karena DPR dianggap gagal menjalankan fungsi representatif.

“Sejumlah regulasi seperti UU Cipta Kerja, UU KPK, UU Sumber Daya Alam, dan Minerba disusun tanpa melibatkan masyarakat secara terbuka. Kalau begitu, apa fungsi DPR jika tidak mewakili rakyat?” tegas Buyung, Senin (25/8/2025).

Ia menambahkan, demokrasi tidak berhenti pada pemilihan umum saja. Rakyat berhak mencabut mandat jika wakil yang dipilih tidak lagi berpihak pada kepentingan publik.

Buyung mengkritisi kondisi demokrasi Indonesia yang menurutnya hanya berhenti sebagai slogan belaka. Ia menuding DPR lebih tunduk pada kepentingan partai ketimbang rakyat.

“Kalau DPR tidak berpihak pada rakyat, lalu mereka mewakili siapa? Faktanya, mereka lebih patuh pada kepentingan partai,” ujarnya.

Ia juga menyoroti fenomena politik transaksional yang lahir dari mahalnya ongkos politik. Hal ini, katanya, mendorong munculnya politisi populer dengan modal besar, namun minim kapasitas.

“Jadi anggota DPR kini lebih soal modal dan eksposur, bukan kompetensi. Fenomena selebritas masuk parlemen jadi contoh nyata. Kalau hanya cari panggung, sebaiknya tetap di dunia hiburan,” sindirnya.

Buyung mengingatkan bahwa preseden pembubaran lembaga legislatif pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Presiden Soekarno pada 1959 dan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di era reformasi, pernah mengambil langkah serupa.

“Jadi ini bukan hal tabu. Kalau wakil rakyat gagal menjalankan fungsi representatif, rakyat punya alasan moral untuk mengakhiri mandat mereka,” tegasnya.

Sebelumnya, Ahmad Sahroni menyebut seruan pembubaran DPR sebagai kritik berlebihan dan tidak konstruktif, bahkan menuding pihak yang menyuarakan gagasan itu sebagai orang tolol. Pernyataan ini justru menuai kecaman publik, terutama di media sosial, karena dianggap arogan dan tidak mencerminkan keterbukaan dalam demokrasi.

Buyung menilai komentar Sahroni mencerminkan jarak yang semakin lebar antara DPR dan rakyat. 

“Kalau anggota dewan punya integritas, mestinya mundur saat tidak mampu jalankan fungsi. Tidak perlu tunggu mekanisme partai,” pungkasnya.

(Redaksi)