IDENESIA.CO - Dunia kembali dikejutkan oleh tragedi kemanusiaan di benua Afrika. Lebih dari 2.000 warga sipil dilaporkan tewas dibantai secara brutal oleh kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) di kota El-Fasher, wilayah Darfur, Sudan barat. Insiden ini menjadi salah satu kekerasan paling mengerikan sejak konflik Sudan pecah lebih dari satu setengah tahun lalu.
Selama 18 bulan, El-Fasher kota berpenduduk sekitar 260.000 orang, separuhnya anak-anak hidup dalam kepungan total. Kota ini menjadi kantong terakhir di Darfur yang masih berada di bawah kendali militer pemerintah sebelum akhirnya jatuh ke tangan RSF pada 26 Oktober 2025.
Dalam dua hari berikutnya, dunia menyaksikan kembali pemandangan yang mengingatkan pada tragedi genosida Darfur tahun 2003.
Menurut laporan Joint Forces, sekutu militer Sudan, milisi RSF melakukan kejahatan keji terhadap warga sipil tak berdosa, mengeksekusi ribuan orang secara sistematis sebagian besar perempuan, anak-anak, dan lansia.
“Lebih dari 2.000 warga tak bersenjata dibunuh secara brutal antara tanggal 26 dan 27 Oktober,” ungkap pernyataan resmi kelompok tersebut.
Beberapa laporan menyebutkan bahwa RSF menggelar operasi pembersihan dari pintu ke pintu, menyeret warga keluar dari rumah dan mengeksekusi mereka di jalanan. Para saksi menggambarkan bau mayat yang menyengat di seluruh kota, sementara keluarga-keluarga yang masih hidup mencari perlindungan di reruntuhan masjid dan sekolah.
Laporan investigasi Laboratorium Riset Kemanusiaan Universitas Yale, yang menggunakan citra satelit dan data sumber terbuka, memperkuat tudingan bahwa pembunuhan di El-Fasher adalah bagian dari kampanye pembersihan etnis sistematis.
Kota tersebut, menurut laporan Yale, tengah mengalami upaya penghapusan komunitas etnis Fur, Zaghawa, dan Berti tiga kelompok non-Arab yang menjadi target historis milisi pro-Arab sejak konflik Darfur dua dekade lalu.
“Ini tampak seperti pola pembersihan etnis yang disengaja dan sistematis,” tulis laporan tersebut.
“Tindakan RSF dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, bahkan berpotensi meningkat menjadi genosida.”
Lembaga-lembaga hak asasi manusia internasional pun bereaksi keras. Kepala HAM PBB, Volker Türk, memperingatkan adanya risiko kekejaman bermotif etnis yang meningkat di El-Fasher. Kantornya menerima banyak laporan mengenai eksekusi massal dan pembunuhan warga sipil secara sewenang-wenang.
Kelompok Rapid Support Forces (RSF) merupakan reinkarnasi dari milisi Janjaweed, pasukan pro-pemerintah yang bertanggung jawab atas pembantaian di Darfur pada awal 2000-an. Meski sempat dilegalkan dan diintegrasikan ke dalam struktur keamanan Sudan, RSF tetap beroperasi dengan brutal dan memiliki kekuasaan militer serta ekonomi besar.
Di bawah pimpinan Mohamed Hamdan Dagalo, atau Hemedti, RSF kini menjadi kekuatan utama yang menantang militer Sudan sejak pecahnya perang saudara pada April 2023.
Pertempuran antara RSF dan militer Sudan telah menewaskan lebih dari 15.000 orang dan memaksa lebih dari 9 juta warga mengungsi, menjadikannya salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia menurut PBB.
El-Fasher kini menjadi simbol penderitaan Sudan. Selama berbulan-bulan, pasokan makanan dan bantuan medis tidak bisa masuk karena blokade total RSF. Organisasi kemanusiaan memperkirakan sebagian besar warga kini bertahan hidup dengan memakan pakan ternak dan air kotor.
“Kota ini telah terputus sepenuhnya dari dunia luar. Tidak ada listrik, air bersih, atau bantuan medis,” kata seorang aktivis lokal melalui sambungan satelit terbatas.
“Bayi meninggal karena dehidrasi, sementara lansia sekarat di jalan.”
Foto-foto satelit memperlihatkan puluhan bangunan hangus, puluhan ribu warga mengungsi ke pinggiran kota, dan kuburan massal baru yang membentang di sekitar distrik utara El-Fasher.
Dunia internasional mengecam tragedi tersebut, namun respon global dinilai lamban dan minim tindakan konkret. Dewan Keamanan PBB hingga kini belum mengesahkan resolusi baru untuk menghentikan kekerasan, sementara jalur diplomasi antara militer Sudan dan RSF nyaris buntu.
“Ini bukan hanya perang saudara, ini adalah genosida kedua di Darfur,” ujar Direktur Human Rights Watch Afrika Timur, Ahmed Idris.
Negara-negara tetangga seperti Chad dan Sudan Selatan kini menghadapi gelombang pengungsi baru dari Darfur. PBB memperkirakan lebih dari 50.000 warga El-Fasher telah melarikan diri melewati perbatasan dalam dua hari terakhir.
Lebih dari satu setengah tahun sejak perang dimulai, Sudan terjerumus dalam kekacauan tanpa akhir. Militer dan RSF sama-sama dituduh melakukan kejahatan perang, sementara jutaan warga menjadi korban kelaparan, kekerasan, dan pengungsian.
Bagi banyak pengamat, tragedi El-Fasher menandai titik terendah baru dalam sejarah negara itu.
Kota yang dulu menjadi pusat perdagangan di Darfur kini berubah menjadi kuburan massal manusia, tempat di mana suara anak-anak dan doa para ibu tenggelam di bawah suara senapan.
(Redaksi)