IDENESIA.CO - Presiden FIFA Gianni Infantino kembali menjadi sorotan setelah memberikan jawaban yang dinilai mengelak terkait tuduhan adanya standar ganda dalam kebijakan FIFA terhadap Rusia dan Israel. Dalam sebuah sesi tanya jawab dengan awak media internasional, Infantino diminta menanggapi sikap FIFA yang menjatuhkan sanksi tegas terhadap Rusia, namun tidak melakukan hal serupa terhadap Israel meskipun negara tersebut dituduh melakukan serangan besar-besaran terhadap warga sipil Palestina di Jalur Gaza.
Sejak awal 2022, Rusia dikenai sanksi penuh oleh FIFA dan UEFA akibat invasi militer ke Ukraina. Langkah itu membuat Tim Nasional Rusia dicoret dari kualifikasi Piala Dunia 2022 di Qatar, serta dilarang berpartisipasi dalam turnamen resmi di bawah naungan dua lembaga sepak bola tertinggi dunia tersebut. Hingga kini, status larangan tersebut belum dicabut.
Meski demikian, Rusia tetap aktif menjalani pertandingan persahabatan melawan beberapa negara non-Eropa seperti Iran, Qatar, dan Mesir. Namun, keikutsertaan mereka dalam ajang resmi internasional masih tertutup rapat.
Di sisi lain, Israel tetap diperbolehkan tampil dalam berbagai kompetisi internasional, termasuk kualifikasi Piala Dunia 2026 dan UEFA Nations League, meski belakangan menuai kritik keras. Sejumlah negara dan aktivis menilai Israel juga seharusnya dijatuhi sanksi karena operasi militernya yang menimbulkan ribuan korban jiwa di Gaza.
Kondisi inilah yang memunculkan tudingan adanya inkonsistensi dan standar ganda dalam kebijakan FIFA. Beberapa pihak menilai lembaga sepak bola dunia itu terlalu berhati-hati jika menyangkut isu politik yang melibatkan Israel dan sekutunya, sementara terhadap Rusia mereka mengambil langkah tegas tanpa kompromi.
Dalam konferensi pers usai menghadiri pertemuan puncak perdamaian di Sharm el-Sheikh, Mesir, Infantino ditanya langsung mengenai tudingan standar ganda tersebut. Namun, alih-alih memberikan jawaban tegas terkait posisi FIFA, ia justru memilih berbicara secara umum mengenai perdamaian dan persatuan dunia.
“Saya merasa terhormat dapat menyaksikan pertemuan puncak perdamaian baru-baru ini di Sharm el-Sheikh, yang juga dihadiri oleh Presiden Donald Trump dan beberapa negara lain untuk menyaksikan perjanjian perdamaian penting,” kata Infantino seperti dikutip dari Bharian.
Ia melanjutkan, “Kita semua mendukung perdamaian dan persatuan, serta upaya untuk mempersatukan rakyat. Hari ini juga kita telah menyaksikan penandatanganan perjanjian damai antara Thailand dan Kamboja.”
Pernyataan itu sontak menuai beragam reaksi. Banyak wartawan menilai Infantino tidak benar-benar menjawab pertanyaan utama, yakni soal alasan FIFA memperlakukan Rusia dan Israel dengan cara berbeda. Sebagian pengamat bahkan menilai Infantino mencoba mengalihkan pembahasan ke topik lain yang lebih aman secara politik.
Media internasional menyoroti bagaimana FIFA, di bawah kepemimpinan Infantino, tampak berhati-hati dalam mengambil sikap terhadap konflik yang melibatkan Israel. Beberapa negara anggota, terutama dari Timur Tengah dan Afrika Utara, secara terbuka menyerukan agar FIFA mempertimbangkan sanksi terhadap Israel sebagaimana yang dilakukan terhadap Rusia.
Seruan serupa juga datang dari berbagai organisasi pro-Palestina, yang menilai FIFA telah gagal menunjukkan netralitas dan keadilan dalam menerapkan prinsip football for all atau sepak bola untuk semua. Menurut mereka, tindakan militer yang menyebabkan penderitaan ribuan warga sipil Palestina seharusnya cukup menjadi dasar bagi FIFA untuk mengambil tindakan.
Namun di sisi lain, sejumlah analis menilai FIFA berada dalam posisi yang rumit. Keputusan terhadap Israel berpotensi menimbulkan gejolak diplomatik besar, mengingat dukungan kuat dari negara-negara Barat terhadap Tel Aviv. Infantino sendiri dikenal sebagai sosok yang berusaha menjaga hubungan baik dengan semua pihak, termasuk pemerintah-pemerintah besar yang memiliki pengaruh ekonomi terhadap sepak bola dunia.
Kasus ini kembali memperlihatkan dilema klasik dunia olahraga, di mana batas antara sportivitas dan politik sering kali kabur. FIFA selama ini mengklaim bahwa sepak bola harus menjadi ruang netral dan inklusif bagi semua bangsa. Namun, dalam praktiknya, keputusan organisasi tersebut kerap dipengaruhi oleh situasi geopolitik global.
Dalam konteks ini, banyak pihak mendesak agar FIFA tidak lagi bersembunyi di balik jargon netralitas politik ketika menyangkut pelanggaran kemanusiaan. Sepak bola, menurut mereka, memiliki tanggung jawab moral untuk berpihak pada perdamaian dan keadilan.
Hingga saat ini, FIFA belum mengeluarkan pernyataan resmi tambahan terkait status Israel, dan Infantino belum memberikan klarifikasi lebih lanjut atas komentarnya yang menuai kritik. Sementara itu, tekanan terhadap lembaga tersebut terus meningkat, terutama dari negara-negara yang merasa standar ganda seperti ini mencoreng semangat persatuan global yang selalu dijunjung tinggi oleh dunia olahraga.
(Redaksi)