IDENESIA.CO - Tradisi perempuan menggunakan nama suami setelah menikah masih banyak ditemui hingga kini. Penyebutan seperti Nyonya A atau Ibu A seolah menempatkan identitas perempuan sebagai bagian dari suaminya, bukan sebagai individu yang mandiri. Padahal, nama adalah bagian penting dari identitas yang melekat seumur hidup.
Mengutip laporan Vogue, tradisi mengganti nama setelah menikah bermula sejak abad pertengahan. Kala itu, pernikahan dianggap sebagai bentuk perpindahan kepemilikan perempuan dari ayah kepada suami. Warisan patriarki ini kemudian diwariskan turun-temurun dan hingga kini masih dianggap wajar, bahkan sering dipandang romantis.
Di abad ke-19, Lucy Stone, seorang feminis asal Amerika, menjadi perempuan pertama yang secara terbuka menolak mengganti nama lahirnya setelah menikah.
“Nama adalah identitas, bukan sekadar gelar. Seorang istri tidak seharusnya mengambil nama suaminya, sama seperti suami tidak seharusnya mengambil nama istrinya,” ujar Lucy Stone.
Perjuangannya tidak berhenti di situ. Pada 1921, ia mendirikan Lucy Stone League, sebuah gerakan yang memperjuangkan hak perempuan untuk tetap mempertahankan nama lahir mereka meski sudah menikah.
Psikolog asal Amerika Serikat, Jean Twenge, menemukan bahwa perempuan yang tetap memakai nama lahir setelah menikah biasanya lebih mandiri, memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, dan berpegang pada pandangan feminis yang kuat.
Nama, menurutnya, bukan hanya sekadar panggilan, melainkan cerminan bagaimana perempuan memandang dirinya: apakah sebagai individu yang utuh atau hanya dilihat melalui status pernikahannya.
Hasil riset terbaru menunjukkan bahwa keputusan mengganti nama sering kali lebih dipengaruhi norma sosial dibanding pilihan pribadi.
Studi Frontiers in Psychology menemukan semakin tinggi nilai seksisme dalam suatu masyarakat, semakin besar kemungkinan perempuan memilih memakai nama suami.
Survei Pew Research 2023 (via ForbesWomen) menunjukkan 79 persen perempuan menikah masih mengambil nama suami, meski hanya 33 persen perempuan lajang berencana melakukannya di masa depan.
Temuan ini menunjukkan, dalam banyak kasus, keputusan mengubah nama lebih merupakan bentuk pembenaran patriarki daripada kebebasan memilih.
Menikah tidak seharusnya membuat perempuan kehilangan identitas pribadinya. Pilihan tetap memakai nama lahir, mengambil nama suami, atau menggabungkan keduanya sepenuhnya adalah hak perempuan.
Yang terpenting, keputusan itu lahir dari keinginan diri sendiri, bukan karena tekanan sosial. Identitas perempuan adalah hak yang tidak boleh hilang hanya karena pernikahan.
(Redaksi)