IDENESIA.CO - Negara-negara Teluk Arab kini berada di persimpangan sulit setelah serangan langsung Israel ke Qatar pekan ini. Serangan yang menargetkan kepemimpinan politik Hamas di Doha menjadi pukulan telak bagi citra stabilitas kawasan yang selama beberapa dekade dibangun sebagai “oasis aman” di Timur Tengah.
Meski ada seruan untuk respons kolektif, analis menilai persatuan negara-negara Teluk tidak akan mudah tercapai. Sejumlah faktor politik, ekonomi, hingga pertahanan membuat opsi mereka terbatas. Berikut lima alasan utama mengapa negara-negara Teluk sulit bersatu menghadapi Israel:
1. Dikepung Konflik Berkepanjangan
Perang Gaza yang telah berlangsung hampir dua tahun kini merembet ke kawasan Teluk. Serangan Iran ke pangkalan AS di Qatar pada Juni lalu, disusul serangan Israel pekan ini, menunjukkan bahwa eskalasi konflik semakin nyata. “Kita perlu bersatu karena jika tidak, ibu kota Teluk lainnya bisa menjadi target berikutnya,” ujar Bader Al-Saif, akademisi dari Universitas Kuwait. Namun pilihan militer langsung dianggap hampir mustahil dilakukan.
2. Normalisasi dengan Israel Jadi Dilema
Sejumlah negara Teluk, khususnya Uni Emirat Arab (UEA), telah menandatangani Perjanjian Abraham dengan Israel sejak 2020. Meski sempat dianggap terobosan diplomatik, hubungan ini kini menjadi beban. Mengurangi keterlibatan dalam perjanjian atau menurunkan level hubungan diplomatik bisa menjadi opsi, tetapi langkah itu berisiko mengganggu investasi dan kerja sama yang sudah berjalan.
3. Tak Berani Bawa ke ICC
Hingga kini, negara-negara Teluk jarang terlibat aktif dalam upaya hukum internasional terhadap Israel. Hasan Alhasan, peneliti senior IISS Bahrain, menilai situasi terbaru bisa mendorong mereka ikut mendukung gugatan di Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Namun keraguan masih besar, terutama karena risiko konfrontasi politik dengan sekutu utama mereka, Amerika Serikat.
4. Terikat Perjanjian Pertahanan Bersama
Negara-negara Teluk sebenarnya memiliki mekanisme pertahanan kolektif melalui “Pasukan Perisai Semenanjung” yang dibentuk pada era 1980-an. Meski demikian, perjanjian ini lebih sering bersifat simbolis daripada operasional. “Klausul pertahanan bersama sejauh ini masih teoretis. Tapi kini bisa diaktifkan untuk membangun komando terpadu dan sistem pertahanan rudal yang lebih kuat,” kata Alhasan.
5. Terlalu Bergantung pada AS
Kebanyakan negara Teluk adalah tuan rumah pangkalan militer Amerika Serikat dan sangat bergantung pada perangkat keras militernya. Namun, kegagalan AS mencegah serangan terbaru membuat banyak pihak di kawasan meragukan jaminan keamanan Washington. Sebagian analis menyebut ini saat yang tepat bagi negara-negara Teluk untuk menuntut komitmen pertahanan yang lebih jelas dari AS, alih-alih sekadar membeli senjata tanpa perlindungan nyata.
Ekonomi Jadi Taruhan
Selain faktor politik dan pertahanan, ancaman terbesar mungkin justru pada sektor ekonomi. Negara-negara Teluk menanamkan triliunan dolar dari pendapatan minyak dan gas ke berbagai aset global. Jika stabilitas kawasan terganggu, mereka berpotensi mengalihkan dana tersebut, termasuk dengan menekan perusahaan yang punya hubungan besar dengan Israel.
“Jika kita merasa tidak aman, uang itu bisa dialihkan ke tempat lain, baik untuk mengamankan Teluk atau mencari imbal hasil lebih baik,” tegas Al-Saif.
(Redaksi)