IDENESIA.CO - Dunia internasional kembali dikejutkan oleh pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang secara terbuka membanggakan serangan udara brutal ke Jalur Gaza di tengah berlangsungnya perjanjian gencatan senjata dengan Hamas. Dalam pidato pembukaan musim dingin parlemen Israel (Knesset), Senin (20/10/2025), Netanyahu menyebut militer Israel telah menjatuhkan 153 ton bom hanya dalam beberapa hari terakhir, bahkan ketika kesepakatan damai yang dimediasi Amerika Serikat masih berlaku.
“Selama masa gencatan senjata, dua tentara gugur… Kami membalas dengan 153 ton bom dan menyerang puluhan target di seluruh Jalur Gaza,” ujar Netanyahu di hadapan para anggota parlemen.
Pernyataan tersebut sontak menuai kecaman dari oposisi di Knesset. Sejumlah anggota parlemen menuduh Netanyahu sengaja memperpanjang perang untuk kepentingan politik domestik dan menolak segala bentuk kompromi diplomatik. Beberapa kali, sesi sidang sempat diinterupsi akibat perdebatan keras antara kubu pemerintahan dan oposisi.
Secara tidak langsung, Netanyahu mengakui pelanggaran perjanjian gencatan senjata yang disepakati pada 10 Oktober 2025 melalui mediasi Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Kesepakatan tersebut mencakup penghentian total serangan udara dan darat di kedua pihak, pertukaran sandera, serta pembukaan jalur kemanusiaan untuk bantuan di Gaza.
Namun kenyataannya, laporan dari berbagai sumber internasional menyebut bahwa Israel telah 80 kali melanggar perjanjian tersebut hanya dalam kurun sepuluh hari pertama.
Menurut Anadolu Agency, kantor media pemerintah Gaza mencatat sedikitnya 97 warga Palestina tewas akibat serangan udara Israel selama masa gencatan, termasuk 44 orang pada Minggu (19/10) saja, serta 230 orang lainnya luka-luka.
Israel berdalih serangan itu merupakan balasan atas aksi tembakan Hamas terhadap pasukan Israel di kota Rafah, wilayah selatan Gaza. Namun pihak Hamas membantah tuduhan tersebut dan menegaskan bahwa mereka tetap berkomitmen pada kesepakatan damai yang telah difasilitasi AS.
“Tidak ada serangan dari pihak kami selama gencatan. Tuduhan Israel hanyalah dalih untuk melanjutkan agresi,” kata juru bicara Hamas dalam pernyataan resminya.
Perjanjian gencatan senjata 10 Oktober merupakan bagian dari rencana bertahap yang disusun oleh pemerintahan Trump. Tahap pertama mencakup pembebasan sandera Israel dengan imbalan pembebasan tahanan Palestina. Tahap berikutnya mencakup pembangunan kembali Gaza di bawah pengawasan internasional, serta pembentukan pemerintahan sementara Gaza tanpa keterlibatan langsung Hamas.
Namun, gempuran besar-besaran Israel di tengah pelaksanaan kesepakatan tersebut mengancam runtuhnya proses diplomasi yang telah berjalan. Negara-negara Arab dan organisasi internasional, termasuk PBB dan Uni Eropa, menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap meningkatnya pelanggaran.
Seorang diplomat Eropa yang enggan disebut namanya mengatakan, “Serangan sebesar itu selama gencatan tidak dapat dibenarkan dalam kondisi apa pun. Israel seakan mengabaikan seluruh mekanisme perdamaian yang sudah disepakati.”
Dari sisi kemanusiaan, situasi di Gaza kian mengerikan. Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa sejak awal perang pada Oktober 2023, lebih dari 68.200 warga Palestina tewas dan 170.200 lainnya luka-luka. Banyak di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.
Data tersebut diyakini belum mencerminkan total korban sebenarnya, mengingat ribuan orang masih hilang di bawah reruntuhan bangunan yang hancur akibat serangan udara Israel yang berkelanjutan. Infrastruktur vital seperti rumah sakit, sekolah, dan fasilitas air bersih pun lumpuh total.
“Situasi di Gaza kini berada di ambang kehancuran total. Tidak ada tempat aman bagi warga sipil,” ujar seorang pejabat PBB yang bertugas di Rafah.
Pernyataan Netanyahu tentang penggunaan 153 ton bom menjadi simbol kontroversi baru dalam konflik berkepanjangan itu. Di dalam negeri, sejumlah politisi Israel menilai kebijakan tersebut hanya memperburuk isolasi diplomatik Israel dan memicu kemarahan komunitas internasional.
Bahkan beberapa mantan pejabat militer Israel menilai bahwa strategi Netanyahu lebih bersifat politik ketimbang militer. Mereka menuding Netanyahu berusaha mengalihkan perhatian publik dari krisis politik dan hukum yang tengah dihadapinya di dalam negeri.
Sementara itu, Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dikabarkan sedang menggelar rapat darurat untuk mengevaluasi implementasi kesepakatan gencatan senjata. Jubir Departemen Luar Negeri AS menegaskan bahwa Washington menyesalkan pelanggaran di kedua pihak dan menyerukan agar Israel segera menahan diri.
Bagi warga Gaza, pernyataan Netanyahu hanyalah pengingat pahit bahwa perdamaian masih jauh dari kenyataan. Banyak keluarga masih hidup di tenda-tenda darurat, mengandalkan bantuan pangan yang semakin menipis. Anak-anak tak lagi bersekolah, dan rumah sakit kewalahan menghadapi korban luka-luka baru.
Sementara di sisi lain, pemerintah Israel terus menyebut operasi militernya sebagai langkah pertahanan diri. Padahal, di mata dunia, tindakan itu menyerupai genosida berkepanjangan yang tak lagi mengenal batas kemanusiaan.
“Gencatan senjata seharusnya berarti penghentian kekerasan, bukan kesempatan untuk mengganti amunisi dan membombardir kembali,” kata seorang pengamat Timur Tengah dari Human Rights Watch.
Dengan pengakuan terbuka Netanyahu soal serangan bom di tengah gencatan, Israel kini menghadapi tekanan moral dan diplomatik terbesar sejak perang Gaza pecah dua tahun lalu. Namun hingga kini, belum ada tanda-tanda bahwa serangan akan benar-benar berhenti meninggalkan Gaza dalam bayang-bayang penderitaan yang belum berakhir.
(Redaksi)